Minggu, 08 Juli 2012

Sumur Kering

Oleh: Mohammad Sobary

Pernah saya baca kisah seorang ahli bahasa terperosok ke dalam sebuah sumur kering. Ia tak bisa naik. Ketika tampak olehnya orang bertopi melongok ke bawah, ia berteriak minta tolong.

“Tolonglah, keluarkan aku dari sini.”

“Oke,” jawab orang bertopi itu. Ia seorang sufi yang  bermaksud mencari air minum. “Tunggulah sebentar, aku cari tali dan tangga,” kata sang sufi lagi

“Huss, logika bahasamu salah,” teriak si ahli bahasa.  “Seharusnya kau bilang tangga, baru kemudian tali,” katanya lagi.

Sufi kita, yang biasa berpikir tentang hakikat, tertegun  sejenak. Ia menyadari betapa tak mudah berurusan dengan orang yang bisa cerewet mengenai persoalan “kulit” dan abai  terhadap perkara “isi”. Tapi kemudian ia menyahut lagi.

“Baiklah Bung, kalau dalam keadaan darurat begini kau masih  lebih mengutamakan kaidah bahasa ketimbang keselamatan  jiwamu, tunggulah lima tahun di situ sampai saya kembali sebagai ahli bahasa.”

Sang sufi kemudian melangkah anggun menjauhi tempat itu dan  tinggallah ahli bahasa kita, termenung-menung menyesali  orientasinya yang sering kelewat teknis dalam menghadapi  persoalan hidup yang kompleks dan warna-warni itu.

Boleh jadi, ahli bahasa dan sufi dalam kisah ini tak pernah  ada. Kisah ini, dengan kata lain, bisa saja cuma sebuah rekaan belaka. Tapi bahwa manusia dengan sikap dan pemikiran  seperti mereka itu ada di sekitar kita, sebaiknya tak usah  diragukan.

Saya pikir-pikir, kisah itu merupakan sebuah karikatur yang  pas buat dua orang tokoh di kampung saya: Haji Mangil dan Kang Kamidin. Haji Mangil itu resminya imam masjid. Dalam  urusan doa-doa, selamatan dan aneka ritus agamis ia berada di “depan”. Orang banyak telah mengkiai-kan dia. Tetapi  kekuasaan real Haji Mangil jauh lebih besar lagi karena ia  ternyata juga dominan secara politis.

Kang Kamidin sebaliknya. Ia tak “tampak”. Kehadirannya  dalam, dan absennya dari, pertemuan, misalnya, tak menambah  dan tak mengurangi arti apa pun.

Pendeknya, ia tidak “dihitung”. Ia bukan pengikut yang baik.  Diajak tahlilan tidak mau. Diajak Yasinan tiap malam Jum’at  sering mencolot diam-diam, karena tidak hapal surat Yasin.  Buat apa anggota macam dia?

Saya sendiri netral. Posisi “non-blok” ini membuat saya bisa  luwes berdialog dengan pihak mana pun.

Pernah suatu hari, setelah salat lohor di masjid, saya  bertanya pada “kiai” kita mengapa ia begitu menekankan  perlunya menghapal doa dan ayat-ayat.

“Kamu ini bagaimana, semuanya itu kunci pokok. Kita dilarang  melakukan suatu amal bila kita tak paham akan ilmunya.  "Ngerti?”

Karena saya kelihatan belum mengerti, Haji Mangil pun  memberi contoh. “Bila tak paham ilmu, kita beramal, itu  ibarat tukang jahit memotong-motong kain seorang pelanggan  sebelum ditanya buat apa kain itu,” katanya.

“Dia potong buat jas, padahal pelanggan mau bikin celana.  Kan kacau jadinya?” kata Pak Haji lagi.

Saya tahu, Pak Haji menyindir Kang Kamidin yang rajin puasa  Senin-Kamis, rajin salat malam, tapi buta ayat dan doa-doa.

“Maksudnya, amal itu tak sampai pada Tuhan?”

“Jelas tidak. Amal begitu sama dengan surat tanpa alamat.  Surat sudah ditulis, sudah dimasukkan ke dalam amplop, sudah  ada prangko, tapi tak ada alamat. Ke mana tukang pos mau  menyampaikannya, coba?”

Pak Haji seorang formalis. Ia bangga bahwa Islam tegas  mengajarkan sikap disiplin. Berulang-ulang dia anjurkan jamaah berdisiplin memegang waktu, agar dalam salat jamaah  ada di shaf paling depan.

“Shaf paling depan itu pahalanya paling besar: dapat unta,”  katanya. “Belakangnya cuma lembu. Belakangnya lagi kambing.  Nah, terserah kita. Mau pilih kelas unta apa puas dengan  kelas kambing,” katanya lagi.

“Kalau begitu berarti Pak Haji selalu dapat unta, dan orang  lain cuma kambing, mungkin malah cuma burung emprit,” kata saya.

“Salah mereka sendiri, bukan, memilih kelas emprit?”

Para jamaah setuju seratus persen. Tapi Kang Kamidin, yang  tidak termasuk main stream itu, tentu tak akur dengan “kalkulasi” tersebut.

“Ibadah ya ibadah,” kata Kang Kamidin.

“Maksudnya?”

“Ibadah itu bukti ketulusan hati. Jadi tak usah dikaitkan  dengan pahala.”

“Tapi pahala kan memang dijanjikan?”

“Ya, bagi ‘anak kecil’ yang menyapu demi hadiah permen; bagi  jiwa yang sujud demi pahala.”

“Apakah berarti Haji Mangil salah?”

“Kita tak punya hak menilai ibadah orang lain. Itu urusan  Tuhan.”

Saya pun bertanya, bagaimana sikapnya terhadap pandangan “kiai” kita yang menganggap ibadah tanpa ilmu ibarat surat  tanpa alamat.

“Tuhan tak sebodoh tukang pos, Mas,” katanya.

Lama saya berpikir. Di balik kesederhanaannya itu terselip  kecanggihan. Ia tidak mau terperosok ke dalam “sumur kering”  penalaran yang serba formal dan teknis.

Oma Irama pernah bilang bahwa lagu-lagunya keluar dari hati,  dan pasti akan sampai ke hati. Kang Kamidin tampaknya  bersikap sama: ibadah yang tulus dari hati, akan ketangkap  juga oleh gelombang cahaya Tuhan, yang mahabesar kasihnya,  yang tak terhingga ampunannya, dan yang mahatahu pula,  betapa kita ini cuma boneka-boneka tolol, di mata-Nya.


Sumber: http://cafe.degromiest.nl/wp/archives/33

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tuangkan komentar sahabat disini, Terimakasih sebelum dan sesudahnya...!!!

Follower

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More