Oleh : Abdul Muis Mahmud
Suatu ketika Nabi mengutus Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith untuk memungut zakat Bani Mustaliq. Ia menerima tugas itu tanpa ragu-ragu. Tetapi syethan telah menggoda hatinya dan menggoncangkan imannya. Ia merasa was-was untuk pergi ke Bani Mustaliq itu, karena khawatir kalau dirinya akan dibunuh. Di tengah jalan, sambil memperlambat jalan untanya, ia bimbang dan ragu, berat rasanya untuk memenuhi tugas yang dibebankan Nabi, sebab jiwanya pengecut. Maka diputuskannya lagi untuk kembali ke Medinah.
Setelah sampai di sana, ia bercerita kepada Nabi:
“Bani Musthaliq kini telah kembali kafir. Mereka tidak mau menunaikan zakatnya, dan bahkan mereka sudah sepakat untuk menyerang kaum muslimin.” (H.R. Ahmad dalam Musnad).
Tentu saja Nabi memberikan perhatian sangat serius dengan berita yang dibawa Walid itu; bahwa mereka telah kafir, tidak mau berzakat, dan bahkan akan memerangi ummat Islam!
Suatu kejutan dan berita gawat bagi Nabi dan kaum muslimin!
Di tengah kemarahan itu Nabi menyadari sendiri, bahwa kemarahan tidak dapat diselesaikan dengan kemarahan juga, tetapi dengan: “Mohon perlindungan kepada Allah dari syethan terkutuk”.
Telah bulat tekad nabi untuk memerangi Bani Mustaliq, kalau tidak karena Allah mencegah pertumpahan darah itu. Melalui wahyuNya, Allah memerintahkan Nabi agar mengecek kebenaran berita Walid bin Uqbah. Kurir yang dipercayai untuk mengadakan pengecekan dengan tiba-tiba ini adalah pedang Allah, Khalid bin Walid, duta Nabi dan kepercayaan Islam.
Berangkatlah Khalid ke Bani Mustaliq. Di batas kota ia berhenti untuk mencari informasi dari penduduknya tentang sikap mereka yang sesungguh-nya. Ternyata apa yang ia dengar langsung adalah berita baik-baik saja, dan tidak ada yang harus ditakutkan. (Ahmad Muhammad Jamil, “Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim”, (terjemahan) pag. 116-118)
Sehubungan dengan kasus di atas, maka turunlah ayat 6 sd 8 surat Al-Hujurat (49):
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpa-kan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. 49:6)
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. 49:7)
sebagai karunia dan ni`mat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 49:8)
DEFINISI FASIK
Perbuatan Walid bin Uqbah di atas disebut Allah sebagai perbuatan orang fasik, dan berita yang bersumber dari orang fasik hendaklah diteliti, agar kita tidak menyesal di belakang hari. Lalu apakah yang dimaksud dengan fasik itu?
Kata “fasik” adalah berasal dari bahasa Arab “fasaqa” yang mengandung pengertian sebagai berikut:
Menurut Ibnu Umar: asal “al-fisq” adalah keluar/ menyimpang dari sesuatu (أصل الفسق الخروج من الشيء) seperti firman Allah “maka ia (iblis) fasik dari perintah Tuhannya”, maksudnya, “iblis keluar dari perintah”. Seseorang dinamakan fasik, karena ia telah terlepas dari perbuatan baik (وسمي الرجل فاسقا لا نسلاخه من الخير). (Al-Gharib lil Khatthaabi Jilid I hal 603)
Di dalam hadits misalnya kita jumpai:
في حديث النبي أنه قال خمس فواسق يقتلن في الحل والحرم الفأرة والعقرب والحدأة والغراب الأبقع والكلب العقور
“Lima jenis fasik yang dibunuh pada waktu halal dan haram (tahallul dan ihram): Tikus, kalajengking, burung elang, burung gagak yang belang putih dan hitam, serta anjing liar.”
قال ابن قتيبة لا أرى الغراب سماه فاسقا إلا لتخلفه عن أمر نوح حين أرسله ووقوعه على الجيفة وعصيانه إياه وحكي عن الفراء أنه قال لا أحسب الفأرة سميت فويسقة إلا لخروجها من جحرها على الناس
Ibnu Qutaibah berkata: “Aku berpendapat bahwa burung gagak dinamakan fasik hanya karena penyelewengannya atas perintah Nuh yakni sewaktu beliau mengutusnya, dan gagak bertengger di atas bangkai dan mendurhakai Nuh”. Lalu orang menyebut tikus, maka ia mengatakan: “Aku kira tikus disebut fuwaisiqah (si kerdil fasik) hanya karena ia keluar dari lobang persembunyiannya kepada manusia.” (Al-Gharib, ibid)
Bila kita meneliti kasus yang menjadi sebab turun ayat di atas, dimana Allah SWT menyebut Walid bin Uqbah sebagai fasik, maka sifat perbuatannya adalah sebagai berikut:
Mudah menerima suatu tugas tetapi tidak bertanggung jawab.
Karena sifat pengecut, maka ia menebarkan issue bohong atas Bani Musthaliq.
Demi kepentingan pribadinya, maka ia tidak menghiraukan bahaya pertumpahan darah yang membahayakan masyarakat banyak.
Sifat-sifat Walid bin Uqbah ini adalah sifat munafik tulen. Jadi munafik sekaligus disebut fasik.
Rasulullah SAW bersabda:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda munafik itu ada tiga; Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkiri dan bila ddiberi amanat ia berkhianat” (HR. Bukhari/ Al-Iman/ 32; Muslim/ fil Imam/ 89; At-Turmuzi/ fil Imam/ 2555; An-Nasa’i/ fil Imam wa syara’iihi/ 4935, dan Ahmad/ Musnad II/ 357,397,536)
Berdasarkan keterangan para ulama, maka fasik dapat disimpulkan dengan:
Segala perbuatan yang keluar dari ketaatan./ Segala perbuatan yang keluar dari istiqamah (keteguhan memegang prinsip agama)/ Segala perbuatan maksiat/ Segala kedurhakaan/ Segala kebohongan./ Segala pengkhianatan atas agama. (Lihat: Mukhtaru al Shihhah, Jilid I/ hal. 206; Al-Gharib lil Khattaabi Jilid I hal 603; Al-Faiq, Jilid III, hal. 55, 116; an-Nihayah fi Gharib al-hadis, Jilid III, hal 446; Lisanul Arab, Jilid IV hal. 225, Jilid V, hal 47, 144, Jilid X, hal 208, dan Jilid XII hal. 270).
KEHANCURAN UMMAT ISLAM
Kasus yang terjadi pada masa Rasulullah SAW yang menyebabkan turunnya surat Al-Hujurat di atas sekaligus menggambarkan bahaya kefasikan sebagai ancaman bagi keutuhan ummat Islam. Oleh sebab itu, segala berita atau sepak terjang orang-orang fasik harus diwaspadai.
Di samping kasus Walid bin Uqbah juga terdapat kasus turunnya surat An-Nur ayat 11-20:
‘Aisyah isteri Rasulullah SAW ikut bersama beliau dalam perang Bani Musthaliq. Tetapi ia ketinggalan baju rompinya. Maka ia kembali ke belakang, ke arah Medinah, diantar oleh satu regu tentara senior.
Di tengah perjalanan kembali itu terlepas pula kalungnya, lalu hilang. Karena itu ia mengulangi jejak sendirian dan mencarinya agak lama.
Seorang dari regu pengawal merasa khawatir, lalu melacak di mana ‘Aisyah berada. Kuda ‘Aisyah terlihat minggat membawa sekedupnya.
Kalung ditemukan oleh sang pengawal. Dan pada waktu itu ‘Aisyah tinggal seorang diri di padang pasir. Ia kedatangan rasa kantuk, lalu tertidur dibuai angin sahara.
Pagi haripun datang, dan ‘Aisyah bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia melihat Shafwan bin Muatthal sedang menjemput sesuatu yang terjatuh atau tercecer. ‘Aisyah melihat Shafwan dan mendengarnya mengucapkan kata-kata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Setelah menjemput kalung yang tercecer, kemudian Shafwan membawa kembali ‘Aisyah ke dalam rombongan untuk selanjutnya bergabung dengan rombongan Nabi SAW. Hati Shafwan lega, sebab ia telah menyelamatkan seorang yang paling dicintai Nabinya, dan ‘Aisyah juga gembira karena sudah dapat berkumpul kembali dengan suami dan keluarga besarnya, setelah ia terpencil sendirian di padang pasir.
Namun demikian kegembiraan ‘Aisyah belum tuntas, karena diikuti dengan banyaknya issue, berita bohong, fitnah dan gosip-gosip.
‘Aisyah isteri Nabi, anak seorang sahabat terhor-mat dari keturunan bangsawan mulia itu difitnah ada main dengan Shafwan, seorang anak Mu’atthal, pahlawan dan sahabat yang mati syahid”.
Alangkah bohong berita itu!
Paling tandas dalam mengeksos berita itu dan penyebar luasnya di kalangan masyarakat adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Nah, mulut-mulut usil mulai berbisik-bisik di pasar dan di tempat-tempat yang banyak orang-orang berkumpul, sehingga dalam waktu relatif singkat, meratalah kabar bohong itu. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Abdullah bin Ubay untuk melampiaskan sakit hati dan menuruti ambisinya.
Alangkah keji tindakannya itu!
Nabi pun sedih bercampur masygul. Begitu pula keluarga Abu Bakar. Beliaupun sampai mengerutkan keningnya, kepada siapa beliau akan menanyakan sesuatu yang akan bisa menghilang-kan kemasygulan-nya tentang ‘Aisyah. Kepada sahabat-sahabat beliaukah? Atau kepada keluarga ‘Aisyah? Atau isteri-isteri Nabi yang lain? Atau langsung kepada ‘Aisyah?
Mereka semua menyaksikan kebenaran dan kesucian ‘Aisyah, tetapi bagi ‘Aisyah sendiri berita bohong itu sebagai pukulan hebat. Lalu dia datang menemui ayahnya: “Perlukah aku menjelaskan kepada Rasulullah?”, katanya. “Atau ayah ibukah yang harus menerangkan persoalannya kepada beliau?”
Keduanya ragu-ragu dan bingung, bagaimana dan apa yang harus mereka katakan, haruskah mereka berdiam diri hingga turun ayat kepada Nabi?
“Demi Allah, kami tidak tahu bagaimana kami akan menjawab”, kata mereka.
Setelah kedua orang tuanya tidak dapat berbuat apa-apa dan dadanya sesak bernafas, maka keduanya hanya dapat berkata:
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah tempat memohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan? (Yusuf: 18)
Jawaban mereka persis seperti jawaban Ya’kub yang kehilangan Yusuf, anak yang sangat disayang dan dicintainya.
Allah tidak menyia-nyiakan kesabaran yang suci dan murni dari ‘Aisyah yang mulia, atas musibah yang menimpanya, bahkan juga musibah bagi kaum muslimin dan muslimat di saat itu, hingga Allah menurunkan ayat-ayat kepada Nabi Muhammad SAW. (Ahmad Muhammad Jamil, “Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim”, op.cit hal 18-21)
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. 24:11)
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. 24:12)
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak menda-tangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS. 24:13)
Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (QS. 24:14)
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15)
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. 24:16)
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, (QS. 24:17)
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:18)
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak menge-tahui. (QS. 24:19)
Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). (QS. 24:20)
PENUTUP
Kita ummat Islam hendaklah mawas diri dari perilaku fasik, karena kefasikan itu adalah dimurkai Allah SWT, berbahaya bagi diri kita sendiri dan bagi masyarakat umumnya.
Seharusnya ummat Islam waspada atas segala tindak-tanduk orang-orang fasik, terutama menanggapi segala berita yang berasal dari mereka yang mungkin menimbulkan fitnah di kalangan ummat manusia umumnya, dan ummat Islam khususnya.
Ahmad Muhammad Jamil mengatakan:
“Amatlah disayangkan, bahwa sebelum dan sesudah ini kita masih sering terperangkap dalam keragu-raguan, terpukul oleh berita-berita bohong, provokasi (hasutan), isu-isu, gosip dan berbagai infiltrasi (penyusupan) yang sangat merugikan kita sendiri. Berapa banyak fitnah dan langkah politik yang melarutkan kita ke dalam penyesalan, sehingga ummat Islam terpecah belah, melepaskan tali kekeluargaan, persaudaraan dan perdamaian.” (Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim:, (terjemahan) op.cit pag. 118)
Jika berita orang fasik saja bisa mengancam keselamatan ummat, maka lebih berbahaya lagi apabila yang menjadi pemimpin ummat adalah orang-orang fasik itu sendiri. Oleh sebab itu, hendaklah kita menjauhi pemimpin yang fasik dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, sampai mereka kembali kepada prinsip Islam yang sebenarnya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tuangkan komentar sahabat disini, Terimakasih sebelum dan sesudahnya...!!!