Senin, 09 Juli 2012

Hari Raya Puaso Onam

TRADISI “HARI RAYA PUASO ONAM”
DITINJAU DARI SUDUT PANDANG SYARI’AT

Oleh: Abdul Muis Mahmud[1])

Abstrak

“Hari Raya Puaso Onam”, adalah peristiwa budaya bernuansa Islami, yang diwarisi turun-temurun oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau. Bila seorang pemerhati melihat peristiwa budaya ini dari satu jurusan saja dengan mengabaikan asfek-asfek ajaran Islam lainnya, atau meremehkan kaedah-kaedah hukum syari’at Islam, maka besar kemungkinan sang pemerhati akan salahpaham dan menyimpulkan bahwa tradisi ini adalah “perbuatan bid’ah yang sesat dan pelakunya adalah orang-orang sesat” karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi sahabat r.a.m…
Tulisan berikut ini mencoba meneropong tradisi “Hari Raya Puaso Onam” ditinjau dari sudut pandang syari’at.[2] Diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang khususnya, dan seluruh kaum muslimin umumnya.

PENGANTAR

“Hari Raya Puaso Onam” adalah hari raya budaya yang disemarakkan oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau, setiap tanggal 8 Syawal. Dinamakan dengan “Hari Raya Puaso Onam”, karena dinisbahkan kepada “pelaksanaan puasa sunat enam hari di bulan Syawal, yang dasarnya dijumpai dalam sunnah Rasulullah SAW.[3]
Tidak diketahui secara pasti semenjak kapan budaya ini berlangsung di daerah ini, atau siapa pencetus awalnya… penyelidikan ke arah itu memerlukan pengkajian khusus dan mendalam di luar topik kertas kerja ini…
Budaya tersebut telah berlangsung turun temurun dan diterima masyarakat setempat secara damai; baik oleh para ulama, maupun masyarakat umum, tanpa mempertentangkannya dengan syari’at Islam.
Setelah bermacam aliran dan paham keagamaan merambah ke daerah ini, maka mulailah tradisi ini dipersoalkan. Aliran dan paham salafi[4] misalnya dengan lantang mengumandangkan bahwa budaya Hari raya Puaso Onam adalah perbuatan bid’ah dan sesat; bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Melalui lembaran kertas kerja ini penulis mencoba meninjau tradisi Hari raya Puaso Onam dari sudut pandang syari’at.

PENGERTIAN HARI RAYA PUASO ONAM

Yang dimaksud dengan “Hari raya” dalam kertas kerja ini adalah hari berkumpul, perayaan atau festival yang dibudayakan oleh suatu masyarakat…[5]
Kata “Puaso” dalam bahasa Indonesia adalah “puasa”, sedang kata “onam” dalam bahasa Indonesia adalah “enam”. Bangkinang dan Sungai Tonang termasuk daerah Kampar (Minang rantau yang biasa disebut dengan Limo Koto) bahasa daerahnya adalah Bahasa Melayu khas perpaduan antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu Riau atau Malaya (Malaysia). Secara historis daerah Limo Koto mempunyai akar budaya yang kuat dengan ranah Minangkabau[6] dan kerajaan tanah Malaya[7]… Dalam banyak hal bunyi huruf “a” dalam suatu kata diucapkan dengan bunyi “o”, seperti “puasa” diucapkan dengan “puaso”, “siapa”, dengan “siapo”.
Jadi, “puaso onam”, menurut pengertian bahasa adalah “berpuasa enam hari pada bulan syawal”, yang oleh masyarakat Bangkinang dan Sungai Tonang difokuskan pada puasa sunat di awal bulan Syawal; terhitung mulai dari tanggal 2 Syawal hingga tanggal 7 Syawal.[8]
Sedangkan Hari raya Puaso Onam, menurut pengertian dalam kertas kerja ini adalah “hari raya budaya[9] Islami yang disemarakkan oleh masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang pada tanggal 8 Syawal dengan rangkaian kegiatan yang bersumber dari ajaran syari’at Islam.”
Disebut dengan “hari raya budaya Islami”, karena penentuan dan penetapan hari tanggal 8 Syawal tersebut secara spesifik sebagai hari raya ummat Islam, tidak dijumpai ketetapannya dalam Al Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas... Tidak pernah dilakukan secara khusus oleh Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabiin, atau generasi salaf dan khalaf… tetapi hari raya ini timbul dari tradisi lokal, yang telah membudaya dalam masyarakat. Namun, rangkaian kegiatan yang bertalian dengan hari raya dimaksud adalah mengakar dalam ajaran syari’at Islam…
Yang dimaksud dengan masyarakat Islam Bangkinang dan desa Sungai Tonang adalah masyarakat Islam yang berdomisili di kampung halaman, serta para perantau yang berasal dari Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau yang sedang pulang kampung atau berada di kampung halaman.
Sebagai peristiwa budaya, maka “Hari raya Puaso Onam” identik dengan “Hari raya Ziarah Kubur”, karena inti kegiatan yang dilakukan kaum laki-laki secara berjamaah di hari itu adalah “berziarah ke seluruh pandam perkuburan yang ada lingkungan desa masing-masing”.
Untuk lebih jelasnya, budaya “Hari Raya Puaso Onam” dapat digambarkan sebagai berikut:
Diawali – biasanya setelah shalat shubuh - dengan berziarah ke pandam perkuburan yang ada di lingkungan desa masing-masing secara berjama’ah oleh kaum laki-laki (yang terdiri dari berbagai strata usia)… Di pandam perkuburan dilakukan serangkaian acara, seperti; membaca ayat-ayat pendek, berzikir dan bertahlil, lalu diakhiri dengan berdo’a bersama untuk keampunan dan keselamatan ahli kubur dan seluruh kaum muslimin. Setelah berziarah ke satu pandam perkuburan, maka dilanjutkan dengan berziarah ke pandam perkuburan berikutnya, sampai semuanya mendapat giliran...
Pada waktu kaum laki-laki melakukan ziarah kubur, maka kaum ibu secara bersama dan suka rela menyiapkan hidangan makanan yang disebut dengan “jambar nasi” di masjid atau di menasah (mushalla) yang telah ditetapkan panitia. Hidangan makanan ini disantap bersama setelah ziarah kubur selesai.
Sebagai peristiwa budaya, Hari raya Puaso Onam atau Hari raya Ziarah Kubur, telah mengalami perkembangan, sesuai dengan tingkat intlektualitas masyarakat dan tuntutan zaman; dimana nilai-nilai keagamaan (Islam), pendidikan, sosial, budaya, dan politik, mengkristal menjadi satu…
Acara makan bersama bertujuan untuk mempererat silaturrahmi antar sesama, baik bagi penetap maupun perantau.
Di Sungai Tonang setelah makan bersama dilanjutkan dengan acara “halal bil halal…” melalui moment ini, maka persoalan-persoalan kampung halaman dimusyawarahkan, berikut program-program ke depan, seperti masalah pendidikan dan masalah krusial keagamaan lainnya, sehingga dapat dipahami oleh seluruh mereka yang menetap di kampung halaman dan mereka yang hidup di perantauan.., lalu ditanggulangi secara bersama.
Jadi, kegiatan Hari raya Puaso Onam berawal dengan berziarah ke pandam perkuburan dan berakhir dengan bersilaturrahmi dan bermusyawarah tentang persoalan yang dipandang paling krusial di kampung halaman… Sebagai peristiwa budaya Islami Hari raya Puaso Onam mengandung banyak hal positif, antara lain sebagai berikut:
Ziarah kubur; mengingat jasa-jasa para pendahulu yang telah berpulang ke rahmatullah, mendo’akan mereka dan menginsafi bahwa kita yang masih hidup pada akhirnya akan kembali juga kepadaNya…
Melihat kondisi kampung halaman secara bersama-sama, sehingga para penetap dan para perantau dapat bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, bahkan sesama penetappun jarang sekali bertemu, tetapi pada hari tersebut semuanya dapat bertatap muka, mensurvei perobahan fisik kampung halaman secara visual dan objektif, lalu timbul rasa cinta dan memiliki, serta keinginan yang tulus untuk melakukan tindakan yang positif bagi kampung halaman.
Silaturrahmi; mempertemukan sesama saudara yang selama ini terpisah oleh kesibukan masing-masing, dan mempererat tali ikatan kekeluargaan sebagai sesama muslim yang nenek moyangnya berasal dari kampung halaman yang sama.
Silatul Fikri; menyatukan pemikiran untuk kemaslahatan dan kemajuan kampung halaman khususnya, agama, bangsa dan negara umumnya.
Dan hal-hal positif lainnya.


HARI RAYA PUASO ONAM DALAM TINJAUAN SYARI’AT

Seperti telah disinggung dalam bahasan terdahulu, bahwa; budaya Hari raya Puaso Onam telah mengakar dalam masyarakat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang Kab. Kampar Riau dan tidak dipersoalkan, baik oleh para ulama setempat, maupun oleh masyarakat umum. Tetapi setelah bermacam aliran dan paham keagamaan merambah ke daerah ini, maka mulailah tradisi ini dipersoalkan. Aliran dan paham salafi misalnya dengan lantang mengumandangkan bahwa budaya Hari raya Puaso Onam adalah perbuatan bid’ah dan sesat; bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW. Benarkah demikian?

BAHAYA BID’AH

Seringkali kita mendengar kata “bid’ah”, dilontarkan orang sebagai suatu ungkapan negatif, terutama dipergunakan untuk menyatakan suatu perbuatan yang tidak bersesuaian dengan prinsip agama itu sendiri. Bahkan biasa diucapkan orang untuk menyudutkan orang lain yang tidak sealiran dan sefaham dengannya… lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bid’ah, apa kriterianya? Apakah tiap-tiap perbuatan yang bersifat keagamaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW namun dilakukan generasi kemudian disebut bid’ah… dan seterusnya, dan seterusnya?
Sebelum kita membicarakan bid’ah dalam pengertian syari’at, maka terlebih dahulu perlu kita memperhatikan ayat Al Quran dan beberapa hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan itu; dimana dengan memperhatikan ayat dan hadits-hadits itu akan membantu kita dalam memahami ungkapan ulama dalam mendefenisikan bid’ah.
Di dalam Al Quran tidak ditemui satu ayatpun yang mengandung kosa kata “bid’ah” secara persis (ุจุฏุนุฉ). Kecuali dalam surat Al Ahqaaf ayat 9 dengan memakai kosa kata “bid’a(n)(ุจุฏุนุง) yang pada hakikatnya berasal dari bangun kata yang sama “ba – dal – ‘ain” :

Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".
Kosa kata bid’ah banyak dijumpai di dalam hadits-hadits Nabi SAW. Antara lain dapat kita kutip berikut ini…
Di sini penulis mengelompokkan hadits-hadits itu kepada dua kelompok.
Kelompok pertama; hadits-hadits yang menjelaskan bahwa semua perbuatan bid’ah adalah sesat dan dicerca syari’at:
1. Hadits yang bersumber dari Jabir bin Abdillah, yang menerangkan: “Rasulullah SAW bila berkhutbah, kedua belah mata beliau (terlihat) kemerahan, nada suara beliau tinggi, dan beliau sangat emosianal; seolah-olah beliau adalah seorang (panglima) yang memperingatkan pasukan yang berkata “awas pagi harimu dan sore harimu”, dan beliau bersabda: “Antara aku diutus (menjadi rasul) dengan hari kiamat itu adalah seperti ini”, lantas beliau mempertemukan jari telunjuknya dengan jari tengah dan melanjutkan sabda: “Amma ba’d, maka sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan. Seluruh bid’ah adalah sesat. Aku lebih mementingkan orang mukmin itu dari dirinya sendiri. Barangsiapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli (waris)nya, dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau bumi yang mendatangkan hasil (sementara ahli warisnya tidak ada) maka akulah yang bertanggung jawab.”[10]
2. Hadits yang bersumber dari Al ‘Irbadh mengatakan: “Pernah Rasulullah SAW shalat shubuh bersama kami, kemudian beliau menghadap kami memberikan pengajaran yang sangat menyentuh, yang membuat air mata mengalir, dan jantung bergetar (hati menjadi goncang). Lantas ada yang berkata; wahai Rasulullah! Seolah-olah ini adalah pengajaran seorang yang akan berpisah, maka amanat apa yang engkau pesankan kepada kami? Beliau bersabda: Aku wasiatkan kepadamu agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan menta’ati (pemimpin ummat Islam. pent) meskipun (sang pemimpin) seorang budak habsyi yang buntung hidungnya. Maka sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup di antara kamu, niscaya dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa al rasyidin yang mendapat hidayah. Berpegang teguhlah kamu kepadanya; gigitlah ia kuat-kuat dengan gerahammu. Hendaklah kamu menjauhi sesuatu urusan (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan. Maka segala (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”[11]
3. Hadits yang bersumber dari ‘Aisyah r.a. yang berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan bersumber daripadanya, maka ia adalah ditolak.” Menurut suatu versi: “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada atasnya perintah kami, maka ia adalah ditolak.”[12]
Kelompok kedua: hadits-hadits yang mengisyaratkan bahwa di antara perbuatan bid’ah ada yang dibenarkan syari’at:
1. Hadits yang bersumber dari Abdurrahman bin Abdil Qari bahwa ia berkata: Kemudian aku berangkat bersama Umar bin Al Khattab pada suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid. Rupanya orang ramai shalat berpencar terpisah-pisah. Seorang lelaki ada yang shalat bersama laki-laki lain, lalu shalatnya diikuti oleh sekelompok orang. Lantas Umar berkata: Menurut pendapatku, alangkah baiknya, aku kumpulkan mereka ini dengan seorang imam saja, tentu itu lebih baik. Kemudian ia bertekad mengumpulkan mereka dengan Ubay bin Ka’ab (sebagai imam shalat). Selanjutnya di malam berikutnya aku keluar bersama beliau, sedang orang ramai diimami oleh qari (imam) mereka. Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Orang yang tidur dengan maksud bangun mendirikan shalat pada akhir malam lebih baik dari orang yang melaksanakan shalat (di awal malam), sedangkan orang ramai shalat di awalnya.”[13]
2. Hadits yang bersumber dari Abdullah bin Amr bin ‘Auf Al Muzanni dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda kepada Bilal bin Al Harts: “Ketahuilah!” Ia menjawab: “Apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah?” Nabi bersabda: “Ketahuilah wahai Bilal!” Ia menjawab: “Apa yang harus aku ketahui wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku yang telah dimatikan orang sepeninggalku, maka baginya adalah pahala yang sama dengan pahala orang yang mengamalkannya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengada-adakan bid’ah yang sesat, yang tidak diridhai Allah dan RasulNya, maka baginya adalah dosa yang sama dengan dosa orang yang mengamalkannya, tidak kurang dari dosa-dosa orang yang mengamalkannya itu sedikitpun.”[14]
3. Hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdillah yang berkata: “Sekelompok orang Arab kampung mendatangi Rasulullah SAW memakai pakaian dari bulu domba, beliau melihat kondisi mereka yang buruk yang perlu bantuan, maka beliau mendorong orang ramai untuk bersedekah, ternyata mereka lamban menanggapinya, sehingga terlihat (bayangan kekesalan) di wajah beliau. (Jarir bin Abdillah) berkata: Kemudian seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa pundi-pundi yang menyampaikan sedekahnya, lalu datang laki-laki lain yang diikuti oleh orang ramai, sehingga terlihat pancaran kegembiraan di wajah beliau SAW. Lantas Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah (tradisi) di dalam Islam dengan sunnah yang baik, lalu diamalkan orang sesudahnya, maka dituliskan baginya pahala yang sama dengan pahala orang yang mengamalkannya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah (tradisi) yang jelek, lalu diamalkan orang sesudahnya, dituliskan baginya dosa yang sama dengan dosa orang yang mengamalkannya, dan tidak berkurang dosa mereka sedikitpun.”[15]

PENGERTIAN BID’AH DAN SUNNAH

BID’AH
Kata “bid’ah” adalah berasal dari bahasa Arab yang bangun asalnya terdiri dari tiga huruf “ba” “dal” “’ain”.
Menurut Ibnu Manzur di dalam kitabnya “Lisan al ‘Arab”: “ุจุฏَุน ุงู„ุดูŠุกَ ูŠَุจْุฏَุนُู‡ ุจَุฏْุนุงً ูˆ ุงุจْุชَุฏَุนَู‡: dengan pengertian “ุฃَู†ุดุฃَู‡ ูˆุจุฏุฃَู‡ = mengadakan sesuatu dan memulainya”. ุจุฏุน ุงู„ุฑَّูƒِูŠّุฉ mengandung pengertian ุงุณْุชَู†ْุจَุทَู‡ุง ูˆุฃَุญุฏَุซู‡ุง = “menggali dan mengadakan sumur” ุฑَูƒْูŠٌ ุจَุฏِูŠุนٌ sama dengan ุญَุฏูŠุซุฉُ ุงู„ู€ุญَูْุฑ = galian yang baru” ุงู„ุจَุฏِูŠุนُ ูˆ ุงู„ุจِุฏْุนُ sama dengan ุงู„ุดูŠุก ุงู„ุฐูŠ ูŠูƒูˆู† ุฃَูˆّู„ุงً = sesuatu yang pertama ada”. Di dalam Al Quran Allah berfirman: ู‚ُู„ ู…ุง ูƒู†ุชُ ุจِุฏْุนุงً ู…ู† ุงู„ุฑُّุณُู„ mengandung pengertian ู…ุง ูƒู†ุช ุฃَูˆّู„َ ู…ู† ุฃُุฑْุณِู„َ، ู‚ุฏ ุฃُุฑุณู„ ู‚ุจู„ู€ูŠ ุฑُุณُู„ٌ ูƒุซู€ูŠุฑ = Aku bukanlah rasul yang pertama diutus, sesungguhnya sebelum aku telah diutus rasul-rasul yang banyak”. Kata ุงู„ุจِุฏْุนุฉُ sama dengan ุงู„ู€ุญَุฏَุซ ูˆู…ุง ุงุจْุชُุฏِุนَ ู…ู† ุงู„ุฏِّูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ุฅِูƒู…ุงู„ = suatu yang baru dan yang diciptakan dalam agama setelah agama itu sempurna”. Ibnussakit mengatakan: “Bid’ah adalah semua yang diada-adakan”[16]
Abussa’adat dalam kitabnya “Al Nihayah fii Ghariib al Hadits wa al Atsar”, menambahkan: ุจุฏุน ููŠ ุฃุณู…ุงุก ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุงู„ุจุฏูŠุน ู‡ูˆ ุงู„ุฎุงู„ู‚ ุงู„ู…ุฎุชَุฑุน ู„ุง ุนู† ู…ِุซุงู„ ุณุงุจู‚, = bangun kata ba – dal – ‘ain dalam Nama-nama Allah SWT adalah “Al Badi’” yakni “Pencipta Yang Mengadakan yang baru Yang tidak ada contoh sebelumnya”.[17] Ungkapan yang sama juga kita jumpai dalam kitab-kitab Mu’jam (Ensiklopedia) lain, seperti dalam kitab “Mukhtar al Shihhah” karya Ar Razi[18] dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat mendefinisikan bid’ah, menurut pengertian syariat… Tetapi pada umumnya para ulama membagi bid’ah itu kepada dua kelompok: Pertama: Bid’ah lughawi; yaitu bid’ah dalam artian ethimologi, dan, kedua: Bid’ah syar’i; yaitu bid’ah dalam artian terminologi agama.
Dengan pembagian seperti itu, mereka dapat mempertemukan antara dua kelompok hadits (seperti dicantumkan sebelumnya), yaitu; kelompok hadits yang menjelaskan bahwa; seluruh bid’ah adalah sesat dan dicerca syari’at; dengan kelompok hadits yang mengisyaratkan (baik secara langsung ataupun tak langsung), bahwa; ada bid’ah yang dibenarkan syari’at.
Di dalam “Al Nihayah fii Ghariib al Hadits wa al Atsar”, Abussa’adat menyatakan:
Bid’ah itu dua jenis: Bid’ah Huda (sesuai dengan petunjuk agama), dan bid’ah dhalal (sesat). Maka segala yang berlawanan dengan perintah Allah dan RasulNya SAW termasuk dalam ruang lingkup tercela dan diingkari. Dan segala yang eksis di bawah keumuman yang disunatkan dan yang didorong Allah atau RasulNya, maka ia adalah dalam ruang lingkup terpuji.”[19] Pendapat yang sama dianut oleh Ibnu Manzur di dalam kitabnya “Lisan al Arab".[20] dan para ulama lain.
Sebelum mengemukakan defenisi bid’ah, As-Syathibi di dalam “Al I’tisham” menguraikan:
“Di dalam Ilmu ushul (Yurisprudensi hukum Islam) ditetapkan bahwa; hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapan hamba ada tiga kelompok: (1) hukum yang dikehendaki oleh ma’na amar (perintah) adalah untuk ijab (wajib) atau nadab (sunat). (2) Hukum yang dikehendaki oleh ma’na nahyi (larangan), adalah untuk karahah (makruh) atau tahrim (haram). (3) Hukum yang dikehendaki oleh ma’na takhyir (kebebasan memilih) adalah ibahah (mubah/ boleh). Jadi, perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan hamba sama sekali tidak terlepas dari tiga bahagian ini: (a) Yang dituntut melakukannya, (b) yang dituntut meninggalkannya, dan (c) yang diberi izin melakukan atau meninggalkannya… Perbuatan yang dituntut meninggalkannya (b), sama sekali tidaklah dituntut demikian kecuali karena wujudnya berlawanan dengan dua hal tadi (a dan c). Perbuatan dimaksud terbagi kepada dua bagian:
Pertama: Dituntut meninggalkannya dan dilarang melakukannya, karena wujudnya sebagai pelanggaran yang khas, dengan memusatkan persepsi kepada yang lain (melanggar aturan Allah).. Jika perbuatan itu adalah yang diharamkan, maka disebut dengan “perbuatan maksiat dan dosa”. Pelakunya dinamakan “pendurhaka dan pendosa”. Jika perbuatan itu tidak diharamkan, maka pelakunya tidak dapat disebut begitu. Dan ia termasuk ke dalam “ุญูƒู… ุงู„ุนููˆ = hukum dima’afkan”, manakala nyata bukan pada posisi tadi. Perbuatan itupun tidak dapat dinamakan “jaiz dan bukan mubah (boleh)”, karena menghimpun antara jawaz (yang boleh) dengan nahyi (yang terlarang) sama dengan menghimpun antara dua hal yang berlawanan (mustahil).
Kedua: Dituntut meninggalkannya dan dilarang melakukannya karena wujudnya berlawanan dengan zhahir tasyri’ (aturan agama yang tampak nyata), yaitu; perbuatan yang berlawanan dengan asfek batasannya, penjelasan tentang tata caranya, kewajiban melakukan gerakan tertentu, atau dengan ketentuan durasi waktu tertentu, dan lain sebagainya.
Perbuatan begini dinamakan “ibtida’ dan bid’ah (ุงู„ุงุจุชุฏุงุน ูˆุงู„ุจุฏุนุฉ)” pelakunya disebut “mubtadi’ (ู…ุจุชุฏุนุง) = pelaku perbuatan bid’ah… [21]
“Jadi, bid’ah adalah sebuah ungkapan tentang tata cara beragama yang diciptakan yang mirip dengan syari’at agama… tata cara ini akan mewujudkan sikap berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.” Pendapat ini dianut oleh orang yang tidak memasukkan “adat (kebiasaan/ tradisi/ budaya) ke dalam ma’na bid’ah. Menurutnya:“bid’ah hanya ada dalam masalah ibadat belaka”. Adapun menurut pendapat orang yang mengkategorikan perbuatan-perbuatan ‘adiyah (biasa) ke dalam ma’na bid’ah: “Bid’ah adalah suatu tata cara dalam agama yang diciptakan mirip dengan syari’at, mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan tata cara syari’at.” Ungkapan ini perlu penjelasan. Kata “thariqah, thariq, subul dan sunan ((ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุงู„ุณุจูŠู„ ูˆุงู„ุณู†ู† mengandung pengertian yang sama, yakni; segala yang digariskan untuk ditempuh (ู…ุง ุฑุณู… ู„ู„ุณู„ูˆูƒ ุนู„ูŠู‡). Dihubungkaitkan dengan agama, karena pelakunya menciptakan dan menghubungkaitkannya dengan agama. Andaikata tata cara yang diciptakan itu khusus dalam masalah keduniaan, maka tidaklah dapat disebut bid’ah, seperti menciptakan pabrik-pabrik dan negeri-negeri yang belum pernah ada sebelumnya.[22]
Selanjutnya, menurut As Syathibi:
“Karena tata cara dalam agama itu terbagi – antara lain kepada; sesuatu yang mempunyai dasar syari’at, dan sesuatu yang tidak mempunyai dasar syari’at - khususnya yang menjadi fokus pembicaraan adalah bagian yang diciptakan itu, artinya; tata cara itu diciptakan tanpa ada contoh yang dikemukakan dari pihak syari’ (Pencipta syari’at/ Allah SWT). Jadi karakteristik bid’ah adalah keluar dari jalur yang digariskan Pencipta syari’at. Melalui karakteristik ini, maka terlepaslah semua yang muncul dalam pikiran orang yang berpikir, bahwa; sesuatu ciptaan baru yang berkaitan dengan agama, seperti ilmu nahwu (grammar; syntax), tashrif (perobahan bentuk kata), mufradat al lughah (kosa kata), ushul fiqhi (yurisprudensi hukum Islam), ushuluddin (theologi Islam) dan seluruh ilmu yang berkhidmat kepada syari’at (bukanlah bid’ah); meskipun semuanya belum dijumpai di zaman awal, namun dasar-dasarnya telah ada di dalam agama. Karena perintah menganalisa bahasa Al Quran termaktub dalam syari’at (ุฅุฐ ุงู„ุฃู…ุฑ ุจุฅุนุฑุงุจ ุงู„ู‚ุฑุขู† ู…ู†ู‚ูˆู„) dan ilmu bahasa merupakan media pembimbing yang tepat dalam (membaca dan memahami) Al Quran dan As Sunnah. Jadi, pada hakikatnya; ilmu ini adalah media memahami peribadatan yang termaktub dalam teks literal syar’iyyah, ilmu itulah yang menunjukkan arti-arti literal tersebut, yakni; bagaimana cara mengambil dan menerapkannya (ูุญู‚ูŠู‚ุชู‡ุง ุฅุฐุง ุฃู†ู‡ุง ูู‚ู‡ ุงู„ุชุนุจุฏ ุจุงู„ุฃู„ูุงุธ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ุงู„ุฏุงู„ุฉ ุนู„ู‰ ู…ุนุงู†ูŠู‡ุง ูƒูŠู ุชุคุฎุฐ ูˆุชุคุฏูŠ).”[23]
Ilmu Ushul Fiqhi bertujuan; melakukan penyelidikan terhadap dalil-dalil umum, sehingga bagi mujtahid tepat sasaran (dalam mengeluarkan hukum) dan bagi penuntut ilmu mudah mencari pengertian.
Demikian pula ushuluddin, atau ilmu kalam. Bertujuan untuk menetapkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, atau yang muncul daripadanya, dalam persoalan tauhid dan yang berkaitan dengannya, seperti ilmu fiqhi menetapkan dalil-dalilnya dalam cabang-cabang ibadah.
Jika ada yang berkata: Kompilasi ilmu itu baru diciptakan belakangan.
Sebagai jawaban: Ilmu-ilmu tersebut mempunyai dasar dalam syara’ (agama), ada dalil yang menunjukkan di dalam Al Hadits. Tarohlah, tidak ada dalil khusus yang menghunjukkannya, namun secara umum ada dalil syari’at yang mengungkapkannya, yakni; bersandar kepada kaedah “al mashalihul mursalah” yang akan diuraikan Insya Allah.[24]
Berdasarkan ungkapan ini, dapatlah ditetapkan bahwa ilmu itu “mempunyai dasar syar’iyyah” dan semua ilmu yang berkhidmat kepada syari’at, tanpa membedakan secara partial, sama sekali bukanlah bid’ah.
Menolak ungkapan ini, sama dengan membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut. Jika termasuk ke dalam bid’ah, maka ilmu itu pasti tercela, karena segala bid’ah adalah sesat tanpa dipertentangkan lagi, seperti akan diuraikan Insya Allah.[25]
Jadi, dapat dipastikan (berdasarkan penolakan tadi) bahwa; penulisan mushhaf dan penghimpunan Al Quran adalah perbuatan tercela. Sedang asumsi begini adalah bathil menurut ijmak; Oleh sebab itu perbuatan ini tidak boleh disebut bid’ah….” [26]
Selanjutnya As Syathibi menegaskan:
“…Jadi, pada dasarnya, tidaklah pantas menamakan ilmu nahwu dan ilmu bahasa lainnya, atau ilmu ushul, atau ilmu-ilmu yang berkhidmat untuk syari’at lainnya, dengan sebutan bid’ah. Orang yang menyebut hal seperti tadi dengan sebutan bid’ah, maka ungkapannya harus dipahami sebagai kata majaz (figurative expression), seperti ungkapan Umar bin Al Khattab r.a. yang menyebut orang ramai melaksanakan qiyamu ramadhan dengan “bid’ah”, jika tidak begitu, niscaya terjadi kebodohan menempatkan sunnah. Dan bid’ah itu bukanlah seperti yang biasa dianggap orang.[27]
Tentang batasan masalah “yang mirip dengan syari’at”, maksudnya “menyerupai tata cara syari’at yang pada hakikatnya tidak sama”, bahkan ditinjau dari beberapa asfek berlawanan dengan syari’at.
Antara lain: Menetapkan batas (ูˆุถุน ุงู„ุญุฏูˆุฏ). Seperti orang yang bernazar berpuasa sambil berdiri tanpa duduk, menyembelih hewan kurban tanpa bernaung, membikin kriteria tertentu yang dapat menghentikan ibadah, membatasi makanan dan busana atas jenis tertentu tanpa alasan yang dapat diterima syara’.
Antara lain: Mewajibkan tata cara dan format tertentu (ุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ูƒูŠููŠุงุช ูˆุงู„ู‡ูŠุฆุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ), seperti berzikir dengan formasi berjama’ah dan seirama, mengambil hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari raya, dan sebagainya.
Antara lain: Mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at (ุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ุนุจุงุฏุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ ููŠ ุฃูˆู‚ุงุช ู…ุนูŠู†ุฉ ู„ู… ูŠูˆุฌุฏ ู„ู‡ุง ุฐู„ูƒ ุงู„ุชุนูŠูŠู† ููŠ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ), seperti kemestian berpuasa di hari nishfu (pertengahan hari bulan) Sya’ban, serta melaksanakan shalat malamnya.[28]
Jadi, ada di sini asfek-asfek dimana perbuatan bid’ah mirip dengan masalah-masalah yang disyari’atkan. Jika tidak mirip dengan masalah yang disyari’atkan, maka tidak dapat disebut bid’ah, karena ia termasuk ke dalam bab perbuatan-perbuatan biasa (ู…ู† ุจุงุจ ุงู„ุฃูุนุงู„ ุงู„ุนุงุฏูŠุฉ).[29]
Dari wacana yang dilontarkan oleh As Syathibi seperti kita kutip dengan panjang lebar di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa:
1. Sebagian ulama membatasi bid’ah hanya dalam masalah-masalah ibadah saja. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori bid’ah.
2. Sebagian ulama lain menempatkan bid’ah dalam masalah-masalah ibadah dan keduniaan sekaligus, tanpa pengecualian.
3. Sesuatu perbuatan yang diciptakan mirip dengan syari’at agama bisa menjadi bid’ah apabila terdapat karakteristik bid’ah padanya, yaitu: (a) menetapkan batasan yang tidak ditetapkan syari’at agama; (b) mewajibkan tata cara dan format tertentu yang tidak ditemui dalam syari’at; dan (c) mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at.
4. Selama perbuatan yang diadakan itu tidak dipandang seperti syari’at agama, dan disadari bahwa ia bukan syari’at agama, maka tidaklah dapat dikatakan bid’ah.
Menurut Ibnu Hajar di dalam “Fathu al Bari”:
“… perbuatan diada-adakan yang tidak berdasar di dalam agama, dalam pengertian syara’ disebut bid’ah. Sebaliknya, perbuatan yang mempunyai dasar dalil syara’ tidak dapat disebut “bid’ah.” Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan (ุงู„ู…ุญุฏุซุฉ)” [30]
Selanjutnya Ibnu Hajar:
“Mengenai masalah “orang yang mengada-ada (ุงู„ู…ุญุฏุซ)” yang terdapat dalam hadits ‘Aisyah “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan bersumber daripadanya, maka ia adalah ditolak”, seperti yang telah diuraikan keterangannya dan akan dilanjutkan keterangannya sebentar lagi dalam “Kitab al Ahkam”. Kemudian di dalam hadits Jabir disinyalir , “segala bid’ah adalah sesat”, dan di dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah; “Hendaklah kamu menjauhi sesuatu urusan (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan (ู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุฃู…ูˆุฑ). Maka segala (yang dibangsakan kepada ajaran agama) yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” Itulah hadits yang di awalnya terdapat ungkapan “Rasulullah SAW memberi pengajaran kepada kami dengan pengajaran yang sangat menggugah hati”, lalu disebutkan seperti tadi. Hadits ini ditakhrijkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahehkan oleh Ibnu Majah, Ibu Hibban dan Al Hakim. Hadits ini mengandung makna yang hampir sama dengan yang disinyalir oleh hadits ‘Aisyah. Itulah yang dirangkum dari ucapan As Sayfi’i yang berkata: “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (ุงู„ุจุฏุนุฉ ุจุฏุนุชุงู† ู…ุญู…ูˆุฏุฉ ูˆู…ุฐู…ูˆู…ุฉ)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.” Ditakhrijkan oleh Abu Naim dengan pengertian yang sama, dari jalur Ibrahim bin Al Junaid bersumber dari As Syafi’i. Dan juga bersumber dari As Syafi’i, yang ditakhrijkan oleh Al Baihaqqi di dalam kitab “Manaqib”nya, ia berkata: “Yang diada-adakan (ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (ุจุฏุนุฉ ุงู„ุถู„ุงู„); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentangan dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”[31]
Bila kita analisa penjelasan yang diberikan oleh Ibnu Hajar dalam uraian terdahulu, maka kita dapat melihat pendangan beliau yang lebih longgar dalam mendefinisikan bid’ah dibandingkan dengan As Syathibi sebelumnya, yang dapat kita rangkum:
1. Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan”.
2. “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (ุงู„ุจุฏุนุฉ ุจุฏุนุชุงู† ู…ุญู…ูˆุฏุฉ ูˆู…ุฐู…ูˆู…ุฉ)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.”
3. “Yang diada-adakan (ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (ุจุฏุนุฉ ุงู„ุถู„ุงู„); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentang dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”
Di samping Ibnu Hajar, Az Zarkasyi Abu Abdillah dalam kitabnya “Al Mantsur”, mensinyalir uraian yang sama, dengan sedikit penekanan:
“Subjek bid’ah dalam syara’ (agama) adalah untuk kejadian-kejadin tercela. Jika kejadian-kejadian terpuji ingin dikaitkan juga dengan bid’ah, maka yang demikian hendaklah dipahami sebagai ungkapan majaz (figurative expression) menurut syara’,dan makna hakikat secara bahasa…”[32]
As Syathibi menempatkankan; hal-hal baru yang tidak berlawanan dengan maqashidus syar’iyyah (objektif syari’at Islam) ke dalam “al mashalihul mursalah”[33]
Dalam konteks seperti ini, maka dapat kita pahami pendapat ulama yang menghubung kaitkan bid’ah kepada kaedah-kaedah hukum syari’at.
Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) di dalam “Qawa’idu al Ahkam Fii Mashalihi al ‘Anam”, mengungkapkan:
“Bid’ah adalah perbuatan yang belum dikenal pada masa Rasulullah. Ia terbagi kepada bid’ah yang wajib (ุจุฏุนุฉ ูˆุงุฌุจุฉ), bid’ah yang di sunatkan (ูˆุจุฏุนุฉ ู…ู†ุฏูˆุจุฉ), bid’ah yang dibencihi (ูˆุจุฏุนุฉ ู…ูƒุฑูˆู‡ุฉ), dan bid’ah yang dibolehkan (ูˆุจุฏุนุฉ ู…ุจุงุญ). Methoda untuk mengenal demikian dengan cara membentangkan bid’ah itu kepada kaedah-kaedah syari’at. Jika termasuk ke dalam kaedah ijab, maka ia adalah wajib, jika termasuk ke dalam kaedah tahrim, maka ia adalah haram, jika termasuk ke dalam kaedah mandub, maka ia adalah disunatkan, dan jika ia termasuk ke dalam kaedah mubah, maka ia adalah dibolehkan.”[34]
Pendapat ini juga dianut oleh An Nawawi, yang mengatakan:
“Tentang sabda Nabi SAW; seluruh tata cara yang diciptakan mirip dengan syari’at agama adalah bid’ah, dan seluruh bid’ah adalah sesat [ูƒู„ ู…ุญุฏุซุฉ ุจุฏุนุฉ ูˆูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ] maksudnya adalah; tata cara bathil yang diciptakan mirip dengan syari’at agama [ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุจุงุทู„ุฉ] dan bid’ah-bid’ah tercela [ูˆุงู„ุจุฏุน ุงู„ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ]. Penjelasan ini telah kita uraikan dalam “Kitab Shalat al Jumu’ah”, dan di sini kita ingatkan bahwa; bid’ah itu lima perkara: (1) bid’ah yang diwajibkan, (2) yang disunatkan, (3) yang di haramkan, (4) yang makruhkan, dan (5) yang dibolehkan.”[35]
KESIMPULAN TENTANG BID’AH
Dari seluruh uraian yang kita bicarakan sebelumnya maka dapat kita simpulkan, bahwa:
Sebagian ulama membatasi bid’ah hanya dalam masalah-masalah ibadah saja. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori bid’ah.
Sebagian ulama lain menempatkan bid’ah dalam masalah-masalah ibadah dan keduniaan sekaligus, tanpa pengecualian. Menurut pendapat ini: Sesuatu perbuatan yang diciptakan mirip dengan syari’at agama bisa menjadi bid’ah jika terdapat karakteristik bid’ah padanya, yaitu: (a) menetapkan batasan yang tidak ditetapkan syari’at agama; (b) mewajibkan tata cara dan format tertentu yang tidak ditemui dalam syari’at; dan (c) mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at… Selama perbuatan yang diadakan itu tidak dipandang seperti syari’at agama, dan disadari bahwa ia bukan syari’at agama, maka tidaklah dapat dikatakan bid’ah.
Pengertian bid’ah dalam definisi syara’ berbeda dengan bid’ah dalam definisi bahasa, karena segala ciptaan baru disebut bid’ah (menurut bahasa); baik ciptaan itu terpuji, maupun tercela. Begitupun tentang ungkapan “yang diada-adakan”.
Menurut sebagian ulama “Bid’ah itu ada dua macam; yang terpuji dan yang tercela (ุงู„ุจุฏุนุฉ ุจุฏุนุชุงู† ู…ุญู…ูˆุฏุฉ ูˆู…ุฐู…ูˆู…ุฉ)”. Bid’ah yang selaras dengan sunnah adalah terpuji, sedang yang berlawanan dengan sunnah adalah tercela.”
“Yang diada-adakan (ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช) (dalam urusan agama itu) ada dua kelompok; (1) Sesuatu yang diada-adakan itu berlawan dengan Kitab (Al Quran), atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijmak, maka ini adalah bid’ah sesat (ุจุฏุนุฉ ุงู„ุถู„ุงู„); (2) Sesuatu yang diada-adakan itu berupa kebajikan yang sama sakali tidak bertentang dengan demikian, maka yang diada-adakan seperti ini tidaklah tercela.”
Bid’ah atau hal-hal baru yang tidak berlawanan dengan kaedah-kaedah hukum syari’at oleh sebagian ulama ditempatkan ke dalam “al mashalih al mursalah”.
Keberadaan bid’ah dalam pengertian “hal-hal baru yang belum pernah muncul pada masa Rasululah SAW”, bila dihadapkan dengan kaedah-kaedah hukum syari’at oleh sebagian ulama dikelompokkan ke dalam; (a) bid’ah wajib, (b) bid’ah sunat, (c) bid’ah haram, (d) bid’ah makruh dan (e) bid’ah mubah.



SUNNAH

Kata “sunnah” tidak asing di telinga kita. Begitu indah dan begitu berharga, kadang-kadang terdengar sombong, angkuh dan tersemat kebencian. Ketika si fulan mengklaim diri “ahli sunnah wal jama’ah” kepada orang lain, maka nada ucapan itu sedikit mengandung kesombongan dan keangkuhan, karena (secara langsung atau tak langsung) si fulan telah menuduh lawan bicara “bukan ahli sunnah wal jama’ah”. Sewaktu orang lain menyebut “inkarus sunnah”, maka di kepala kita tergambar “kelompok orang-orang yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai dasar dalam beramal”, ungkapan ini menimbulkan rasa benci…
Lalu… Apakah pengertian sunnah itu?
Kosa kata “sunnah” bangun asalnya terdiri dari tiga huruf “sin – nun – nun [ุณ ู† ู†]”. Perobahan tashrif (bentuk dan susunan kata) itu dalam gramatika bahasa Arab mengandung pengertian yang banyak dan tidak pada tempatnya kita bincang secara terperinci dalam lembaran kertas kerja ini.
Di dalam “Lisan al Arab” Ibnu Manzur mengungkapkan :
“…. Di dalam Al Hadits berulang kali disebut kata “sunnah” [ุงู„ุณُّู†ุฉ] serta perobahan bentuk kata (tashrif)nya. Pengertian dasarnya adalah ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุณِّูŠุฑَุฉ [jalan, kelakuan, peri kehidupan]. Penggunaan kata ini dalam syara’ pada umumnya ditujukan untuk menyatakan segala yang diperintahkan Nabi SAW, yang dilarang beliau, serta yang dianjurkan beliau, baik ucapan maupun perbuatan; yang tidak dituturkan oleh Al Kitabul ‘Aziz (Kitabullah). Karena inilah dinamakan dalil-dalil syara’ dengan Al Kitab dan As Sunnah, artinya Al Quran dan Al Hadits….” Bahkan, menurut Ibnu Manzur: “sunnah juga mengandung pengertian ุงู„ุทุจูŠุนุฉ [tabiat, prilaku, watak][36] Pendapat yang sama ditemui dalam “Annihayah fi Gharib al Atsar” Ibnu Atsir,[37] dan “Al Mukhtar al Sihaah”, karya Ar Razi.[38]
Apabila kita memperhatikan kosa kata “sunnah” di dalam Al Quran, maka kita menemukan kata tersebut dihubung kaitkan dengan kata “Allah” [ุณُู†َّุฉَ ุงู„ู„َّู‡ِ] atau kata “awwaliin” [ุณُู†َّุชَ ุงู„ุฃَูˆَّู„ِูŠู†َ:][39]. Atau dalam bentuk jamak “sunan” [ุณู†ู†].
Menurut At Thabari: “sunan” jamak “sunnah. “Sunnah adalah contoh tauladan yang diikuti, atau imam (pemimpin) yang dimami [ุงู„ู…ุซุงู„ ุงู„ู…ุชุจุน ูˆุงู„ุฅู…ุงู… ุงู„ู…ูˆุชู… ุจู‡]”. Misalnya: “Si Fulan mensunnahkan kepada kita sunnah yang baik, dan mensunnahkan sunnah yang jelek [ุณู† ูู„ุงู† ููŠู†ุง ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ ูˆุณู† ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ]” ungkapan ini diucapkan apabila dia (si Fulan) meninggalkan suatu amalan yang akan diikuti; yang baik atau yang jelek”.[40]
Di dalam Al Quran misalnya; pada surat Ali Imran ayat 137 Allah SWT berfirman:
รด‰s% รดMn=yz `รB รถNรค3รŽ=รถ6s% ×รปsรถรŸ™ (#rรงลฝ�ร…¡sรน ’รŽรป ร‡รšรถ‘F{$# (#rรฃ�รร R$$sรน y#รธ‹x. tb%x. รจpt6ร‰)»tรฃ tรปรผรŽ/ร‰j‹s3รŸJรธ9$# ร‡รŠรŒรรˆ
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Menurut ahli tafsir: yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.[41]
Di dalam hadits Nabi SAW (riwayat Muslim dan lain-lain yang bersumber dari Jarir bin Abdillah seperti kita kutip pada pembahasan Bid’ah berlalu), sunnah digolongkankan ke dalam dua kelompok: (1) Sunnah Hasanah [ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ], dan (2) Sunnah Sayyiah [ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ].
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) di dalam “Tuhfatu al Ahwazi” menguraikan:
“Barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah yang baik [ู…ู† ุณู† ููŠ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ]” pengertiannya adalah “membawa thariqah (jalan, kelakuan, peri kehidupan) yang diridhai dimana dapat dibuktikan dasarnya dari dasar-dasar agama, lalu diikuti orang [ุฃูŠ ุฃุชู‰ ุจุทุฑูŠู‚ุฉ ู…ุฑุถูŠุฉ ูŠุดู‡ุฏ ู„ู‡ุง ุฃุตู„ ู…ู† ุฃุตูˆู„ ุงู„ุฏูŠู† ูุงุชุจุน].”
Selanjutnya menurut Abul ‘Ala: “Dan barangsiapa yang mengadakan suatu sunnah di dalam Islam dengan sunnah yang jelek [ูˆู…ู† ุณู† ููŠ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ] pengertiannya adalah “(jalan, kelakuan, peri hidup) yang tidak diridhai, yang tidak dapat dibuktikan dasarnya dari dasar-dasar agama.”[42]
Adapun pengertian sunnah menurut istilah syari’at adalah “Semua yang terbit dari Rasulullah SAW, berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan.”[43] Sunnah Rasulullah SAW disebut juga dengan Hadits. Seperti halnya dengan hadits, para ulama membagi sunnah kepada; sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah, serta sunnah taqririyyah.
Sunnah Qauliyyah adalah: hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai waktu dan kesempatan. Sunnah fi’liyyah: perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan Sunnah Taqririyyah adalah segala yang dibolehkan Rasulullah SAW yang muncul dari sebagian sahabatnya, seperti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang didiamkannya dan tidak beliau ingkari, atau dengan persetujuan dan penilaian beliau yang memandang bagus sesuatu itu, maka dianggaplah ketetapan dan yang disetujui beliau tadi adalah muncul dari Rasulullah SAW sendiri.[44]
KESIMPULAN TENTANG SUNNAH
1. Pengertian secara bahasa “sunnah” adalah “ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุณِّูŠุฑَุฉ [jalan, kelakuan, peri kehidupan] ุงู„ุทุจูŠุนุฉ [tabiat, prilaku, watak] ุงู„ู…ุซุงู„ ุงู„ู…ุชุจุน ูˆุงู„ุฅู…ุงู… ุงู„ู…ูˆุชู… ุจู‡ [contoh tauladan yang diikuti, atau imam (pemimpin) yang dimami] atau dengan arti hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan.
2. Sunnah dalam pengertian bahasa dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) sunnah hasanah, yaitu perikehidupan yang baik yang berlandaskan kepada syari’at agama, (2) sunnah sayyiah, yakni; perikehidupan jelek yang memang tidak ada sumbernya dalam syari’at agama.
3. Syari’at agama mendorong ummat agar melakukan sunnah yang baik dan menjauhi sunnah yang jelek.
4. Sunnah menurut pengertian syari’at mencakup semua yang muncul dari Nabi SAW, berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan. Sunnah Rasulullah SAW disebut juga dengan Hadits Rasulullah SAW.



TRADISI HARI RAYA PUASO ONAM
DAN MAQASHID AL SYAR’IYYAH


KESIMPULAN DAN SARAN

Sekarang kita mencoba menganalisa tradisi Hari raya Puaso Onam dari jurusan objektif hukum Islam (al maqashid al syar’iyyah).
Syariah Islam diturunkan oleh Allah hanya untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan kepada manusia. Objektif hukum Islam ialah untuk menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat. Untuk tujuan itu, syariah Islam mewajibkan keperluan dharuri, haaji dan tahsini manusia senantiasa dijaga serta dipelihara[45]. Segala perintah dan larangan Allah adalah bertujuan untuk menjaga keperluan-keperluan ini. Asas maslahah manusia ialah keperluan dharuri. Menurut syari’ah Islam, keperluan dharuri manusia ialah agama, nyawa, akal, keturunan dan harta[46]. Jika salah satu dari keperluan ini diabaikan, maka kehidupan manusia akan menuju kehancuran. Keperluan dharuri adalah asas keperluan haaji dan tahsini manusia[47].
Bertitik tolak dari hakikat di atas, maka kita dapat menempatkan tradisi Hari raya Puaso Onam dalam ruang lingkup “Bid’ah Hasanah”, atau “Sunnah Hasanah” (dalam artian bahasa), karena objektif yang dituju dalam tradisi ini adalah menghidupkan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, seperti akan kita bincang di bawah ini.
Bertitik tolak dari objektif hukum Islam yang terkandung dalam kegiatan Hari raya Puaso Onam, dengan meminjam kaedah hukum yang diajukan oleh sebagian ulama tentang eksistensi bid’ah, seperti dikutip An Nawawi (“Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, Juz VII, halaman 104-105.) maka dapat disimpulkan bahwa:
Pelaksanaan Hari raya Puaso Onam dapat digolongkan ke dalam kelompok “bid’ah hasanah”, atau “sunnah hasanah”. Karena amalan-amalan yang dilakukan pada kegiatan itu adalah berkaitan dengan amalan-amalan sunat, maka hukum pelaksanaan kegiatan Hari raya Puaso Onam adalah mengikut kepada amalan-amalan itu (secara umum adalah sunat).
Keberatan yang diajukan oleh orang yang menganggap tradisi dimaksud sebagai “bid’ah yang sesat lagi menyesatkan” dapat dimengerti, jika kita memandang tradisi itu dari satu jurusan saja, yaitu; mengaitkan dengan “masalah ibadah (dalam artian sempit)” seperti kaedah fiqhi mengatakan: “pada dasarnya dalam ibadah itu adalah haram [ุงู„ุฃุตู„ ููŠ ุงู„ุนุจุงุฏุฉ ู„ู„ุชุญุฑูŠู…], karena memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi salafus shaleh... Atau melihat adanya kriteria bid’ah seperti yang diajukan oleh As Syathibi dalam tradisi tersebut: (1) Menetapkan batas (ูˆุถุน ุงู„ุญุฏูˆุฏ). (2) Mewajibkan tata cara dan format tertentu (ุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ูƒูŠููŠุงุช ูˆุงู„ู‡ูŠุฆุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ), dan (3) Mewajibkan ibadat-ibadat tertentu, pada waktu tertentu yang tidak ditemui penjelasannya dalam syari’at (ุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ุนุจุงุฏุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ ููŠ ุฃูˆู‚ุงุช ู…ุนูŠู†ุฉ ู„ู… ูŠูˆุฌุฏ ู„ู‡ุง ุฐู„ูƒ ุงู„ุชุนูŠูŠู† ููŠ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ).
Keberatan ini dapat penulis jawab sebagai berikut:
1. Penentuan tanggal 8 Syawal sebagai Hari raya Puaso Onam adalah atas dasar pertimbangan budaya bukan syari’at, dimana pada hari tersebut memungkinkan bagi para penetap dan perantau di Bangkinang dan Sungai Tonang untuk berkumpul bersama, tanpa ragu-ragu (karena sudah mentradisi) untuk bertemu dalam suasana silaturrahmi, mengikat kembali tali bathin dengan seluruh sanak family, baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang ke rahmatullah yang direalisasikan dengan ziarah kubur bersama ke pandam perkuburan mereka yang telah kembali ke alam baka itu. Lalu timbul keinsafan bahwa semua kita pasti akan menyusul mereka menuju alam akhirat sana, maka hendaklah kita memanfa’atkan nikmat hidup ini untuk berubudiyah kepadanya demi keselamatan kita di alam sana.[48]
2. Tidak ada tata cara dan format tertentu yang diwajibkan dalam kegiatan Hari raya Puaso Onam. Kalaupun terlihat sewaktu ziarah kubur masyarakat ada membaca ayat-ayat pendek, berzikir dan bertahlil, serta berdo’a bersama bagi keselamatan ahli kubur dan kaum muslimin secara bersama dibawah bimbingan seorang imam; semuanya dilakukan atas pertimbangan keteraturan dan pendidikan, dimana para hadirin akan diminimalkan dari perbuatan-perbuatan sia-sia sewaktu ziarah kubur, dan mendidik anak-anak muda dan orang awam agar tertib dan teratur dalam ziarah kubur serta membaca ayat-ayat suci Al Quran, berzikir bertahlil dan berdo’a… Jadi, bukan diwajibkan.[49]
3. Amalan-amalan yang dilakukan dalam rangkaian Hari raya Puaso Onam adalah bersumber dari syari’at Islam secara umum, yang boleh dilakukan pada hari dan waktu bermacam-macam. Melakukan suatu amalan yang diberi kelapangan oleh syari’at pada waktu dan hari tertentu oleh suatu masyarakat dimana pada waktu dan hari tersebut memungkinkan mereka untuk berkumpul dan beramal bersama, bukan berarti masyarakat tersebut membikin syari’at baru.
4. Dalam kehidupan kaum muslimin yang sedang dilanda badai peradaban materialisme dan sekularisme, yang memporak porandakan nilai-nilai iman, akhlak dan tatanan sosial Islami, maka diperlukan berbagai usaha untuk membentengi masyarakat muslim dari ancaman materialisme dan sekularisme itu. Hari raya Puaso Onam dan rangkaian kegiatannya adalah mengandung unsur-unsur ajaran Islam yang mampu mengikat kehidupan sosial ummat Islam Bangkinang dan Sungai Tonang menghadapi badai peradaban yang mengancam itu, disamping ikatan akidah, akhlak dan ajaran Islam lain, tentunya.[50]
Jadi jika kita jeli melihat tradisi tadi dari jurusan “al mu’amalah al ijtima’iyyah (sosial kemasyarakatan)”, maka tradisi Hari raya Puaso Onam adalah serasi dengan objektif hukum Islam, yaitu: menjaga kepentingan dan keperluan manusia di dunia serta akhirat; menjaga ajaran agama agar tidak lekang dari kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, kita harus mengakui bahwa tradisi ini tidak sepi dari kemungkinan-kemungkinan terjerumus ke dalam praktek bid’ah dhalalah, bila tidak dikontrol dengan sikap kritis dalam beragama. Oleh sebab itu, di sini penulis mengajukan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan segala kegiatan yang dihubung kaitkan dengan Hari raya Puaso Onam:
1. Hendaklah disadari dan diinsafi bahwa penetapan tanggal 8 Syawal sebagai Hari raya Puaso Onam, sama sekali bukanlah perintah Rasulullah SAW. Tetapi hanya sebagai tradisi yang telah ditetapkan oleh masyarakat sebagai media untuk lebih meningkatkan nilai keimanan, ketaqwaan dan silaturrahmi antar sesama.
2. Pelaksanaan ziarah kubur bersama pada tanggal 8 Syawal pada hakikatnya bukanlah hari tanggal istimewa yang ditetapkan menurut Syari’at.
3. Selama melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Hari raya Puaso Onam, maka hendaklah diusahakan semaksimal mungkin untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan As Sunnah.




DAFTAR PUSTAKA

1. Al Quranul Karim
2. Abu Ja’far, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Al Thabary (224-310H), “Tafsir al Thabary”, 1405 H, Beirut: Daar al Fikr.
3. Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar “Tafsir Al Qurthuby”, 1372 H, cetakan II, muhaqqiq: Ahmad Abdul ‘Alim Al Burduny Al Qahirah: Dar as-Sya’b.
4. Ad Dimasqy, Ismail bin Umar bin Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, 1401 H, t.th. Beirut: Dar al-Fikr.
5. Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah, “Shaheh Al Bukhari”, 1987 M/ 1407H, cetakan III, editor: Dr. Mushtafa Dif al Bagha, Beirut: Dar Ibnu Katsir, al Yamamah.
6. An Naisabury, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairy, “Shaheh Muslim”, t.th. editor: Muhammad Fuad Abdul Baqy, Beirut: Dar Ihyaai Turats al ‘Araby.
7. Al Ashbahy, Malik bin Anas Abu Abdillah, “Muwattha’ al Imam Malik”, tahqiq; Muhammad Fuad Abdul Baqy, tt.h, Mesir: Dar Ihya’ al Turats al ‘Araby.
8. Al Azdy, Sulaiman bin Asya’ats Abu Daud al Sajastany, “Sunan Abi Daud”, Tahqiq: Muhammad Mahyuddin Abdul Hamid, tt.h. Beirut: Daar al Fikr.
9. As Sulamy, Muhammad bin Isa At Turmuzi, “Al Jami’ al Shaheh Sunan al Turmuzi”, tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dll, tt.h. Beirut: Daar Ihya’ al Turats al ‘Araby.
10. Al Qazwainy, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah, “Sunan Ibni Majah”, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqy, tt.h. Beirut: Daar al Fikr.
11. As Syaibany, Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah, “Musnad al Imam Ahmad bin Hanbal” tt.h. Kairo: Muassasah Qurthubah.
12. Ad Darimy, Abdullah bin Abdirrahman, Abu Muhammad, “Sunan Al Darimy”, cet. I 1407, Beirut: Daar al Kitab al ‘Araby.
13. An Naisabury, Muhammad bin Ishaq bin Huzaimah Abu Bakar As Sulamy, “Shaheh Ibni Huzaimah”, tahqiq: Dr. Muhammad Mushtafa Al A’zhami, 1390 H 1970 M, Beirut: Al Maktab al Islamy.
14. Al Busty, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim At Tamimy, “Shaheh Ibnu Hibban bi Tartib Ibni Balban”, 1414 H 1993 M, Beirut: Muassasah al Risalah.
15. An Naisabury, Muhammad bin Abdillah Abu Abdillah Al Hakim, “Al Mustadrak ‘Ala al Shahihain”, 1411H 1990M, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
16. Al Baghdady, Ali bin Umar Abu Al Hasan Al Daruquthny, “Sunan al Dariquthny”, 1386H 1966M, Beirut: Daar al Ma’rifah.
17. Al Kufy, Abu Bakar Abdullah Muhammad bin Abi Syaibah, “Al Mushannaf Fi al Ahadits wa al Atsar”, cet. I 1409 H, Riyadh: Maktabah al Rusyd.
18. Al Baihaqqy, Ahmad bin Al Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, “Sunan al Baihaqqi al Kubra”, 1414H 1994H, Makkah al Mukarramah: Maktabah Daar al Baaz.
19. An Nasai, Ahmad bin Syu’aib Abu Abdirrahman, “Sunan al Nasai al Kubra”, 1411H 1991M, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
20. Al Qadha’iy, Muhammad bin Salamh binn Ja’far, Abu ‘Abdillah, “Musnad al Syihab”, cet: II 1407H 1986M, Beirut: Muassasah al Risalah.
21. Ahmad bin Abi Bakar bin Ismail Al Kannani (762-840), “Mishbah al Zujaajah”, cet II 1403, Beirut: Dar al ‘Arabiyah.
22. Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisy, “Al Mughny fi Fiqh al Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibany”, cet: I 1405H, Beirut: Daar al Fikr.
23. Hazmin, ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin, “al Muhalla”, (t.th) Beirut: Dar al Afaaq al Jadiidah.
24. Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar”, tahqiq: Thahir Ahmad Az Zawi – Mahmud Muhammad At Thanahi, 1399 H/ 1979 M, Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah.
25. Ibn Manzur, Muhammad bin Mukram (t.t.), “Lisan al ‘Arab”, Beirut: Dar al Sadir.
26. Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Nasyirun, tahqiq: Mahmud Khatir. Beirut: Maktabah Lubnan
27. Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “Al I’tisham”, 1406 H 1986 M, Beirut, Dar al Ma’rifah.
28. _________________ “al-Muwafaqat Fi Usul alSyariah”, muhaqqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al Ma’rifah.
29. ‘Asqalani, Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al- (1379H), “Fathu al-Bari”. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dan Muhibb al-Din al-Khatib (tahqiq). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
30. Muhammad bin Bahadir bin Abdillah Az Zarkasyi Abu Abdillah (745 H sd 794) “Al Mantsur” tahqiq: Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud,1405 H, Kuwait; Cet: 2, Wazaratul Auqaf was suuunil Islamiyah.
31. Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) “Qawa’idul Ahkam Fii Mashalihil ‘Anam”, t.t.h, Beirut: Darul Ma’rifah.
32. An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (631 H – 676 H), “Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, cet: III, 1292, Beirut: Daar Ihyaa al Turats al ‘Arabi.
33. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) “Tuhfatu al Ahwazi”, t.th. Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah.
34. Abdul Wahab Khallaf “’Ilmu Ushul al Fiqh”, 1398 H, 1978 M, Kuwait: Daar al Qalam.
35. HAMKA “Islam dan Adat Minangkabau” cet I, 1984, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
36. Anshari, MA, H. Endang Saifuddin. “Agama dan Kebudayaan” cet II 1982, Surabaya. PT. Bina Ilmu, halaman 32).
37. Elias. A. Elias, “Qaamus Al Ashry/ Elias Modern Dictionary, Arabic – English”, 1979 H, edisi XII, Kairo: Syirkah Daarul Elias al Ashriyyah.
38. Poerwadarminta, W.J.S, “Kamus Lengkap; Inggris - Indonesia, Indonesia – Inggris”, 1982 M, cetakan 2, Bandung: Hasta.
39. Yunus, Mahmud “Kamus Arab – Indonesia”, 1990 M/ 1411 H, cetakan VIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
[1] Penulis adalah putera kelahiran Sungai Tonang Kab. Kampar Riau 1964, sekarang berdomisili di Ujung Gading Kab. Pasaman Barat Sumbar Indonesia.
[2] Pengertian syari'at dari segi pemakai bahasa Arab adalah ู…ุตุฏุฑ (akar kata) dari
ุดุฑุน-ูŠุดุฑุน-ุดุฑุนุง-ุดุฑูˆุนุง
Ibnu Manzur mengemukakan dalam kitabnya Lisan al Arab, jilid VIII, huruf 'ain, halaman 175-176:
ูˆุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูˆุงู„ุดุฑุงุน ูˆุงู„ู…ุดุฑุน: ุงู„ู…ูˆุถุน ุงู„ุชูŠ ูŠู†ุญุฏุฑ ุฅู„ู‰ ุงู„ู…ุขุก ู…ู†ู‡ุง
Syari'ah, syara'u, dan masyra'ah artinya tempat turun (tempat yang dilalui untuk mengambil) air minum."
ูˆุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูˆุงู„ุดุฑุนุฉ: ู…ุง ุณู† ุงู„ู„ู‡ ู…ู† ุงู„ุฏูŠู† ูˆู…ุง ุฃู…ุฑุจู‡ ูƒุงุงู„ุตูˆู… ูˆุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงู„ุญุฌ ูˆุงู„ุฒูƒุงุฉ ูˆุณุงุฆุฑ ุฃุนู…ุงู„ ุงู„ุจุฑ...
"Syari'ah atau syir'ah adalah segala (aturan agama) yang digariskan dan diperintahkan Allah, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan segala perbuatan baik..."
Jadi syari'at dapat kita pahami sebagai jalan kehidupan yang ditentukan Allah SWT yang menjamin keselamatan hidup kita di dunia ini sampai ke akhirat nanti.
[3] Imam Muslim dalam Shahehnya Juz II halaman 822, ุจุงุจ ุงุณุชุญุจุงุจ ุตูˆู… ุณุชุฉ ุฃูŠุงู… ู…ู† ุดูˆุงู„ ุฃุชุจุงุนุง ู„ุฑู…ุถุงู†
1164 ุญุฏุซู†ุง ูŠุญูŠู‰ ุจู† ุฃูŠูˆุจ ูˆู‚ุชูŠุจุฉ ุจู† ุณุนูŠุฏ ูˆุนู„ูŠ ุจู† ุญุฌุฑ ุฌู…ูŠุนุง ุนู† ุฅุณู…ุงุนูŠู„ ู‚ุงู„ ุจู† ุฃูŠูˆุจ ุญุฏุซู†ุง ุฅุณู…ุงุนูŠู„ ุจู† ุฌุนูุฑ ุฃุฎุจุฑู†ูŠ ุณุนุฏ ุจู† ุณุนูŠุฏ ุจู† ู‚ูŠุณ ุนู† ุนู…ุฑ ุจู† ุซุงุจุช ุจู† ุงู„ุญุงุฑุซ ุงู„ุฎุฒุฑุฌูŠ ุนู† ุฃุจูŠ ุฃูŠูˆุจ ุงู„ุฃู†ุตุงุฑูŠ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุฃู†ู‡ ุญุฏุซู‡ ุฃู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ุซู… ู…ู† ุตุงู… ุฑู…ุถุงู† ุซู… ุฃุชุจุนู‡ ุณุชุง ู…ู† ุดูˆุงู„ ูƒุงู† ูƒุตูŠุงู… ุงู„ุฏู‡ุฑ
Kepada kami diceriterakankan oleh Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hajar, semuanya bersumber dari Ismail. Ibnu Ayyub berkata: Kepada kami diceriterakan oleh Ismail bin Ja’far, kepadaku diberitakan oleh Sa’ad bin Sa’id bin Qais, dari Umar bin Tsabit bin Al Harits Al Khazraji, yang bersumber dari Abi Ayyub Al Anshari r.a. bahwa ia menceriterakan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diperikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia adalah seperti berpuasa sepanjang masa.”
Imam At Turmuzi meriwayatkan di dalam “Sunan At Turmuzi” juz III halaman 132 ุจุงุจ ู…ุง ุฌุงุก ููŠ ุตูŠุงู… ุณุชุฉ ุฃูŠุงู… ู…ู† ุดูˆุงู„, dengan sedikit perobahan redaksi:
759 ุญุฏุซู†ุง ุฃุญู…ุฏ ุจู† ู…ู†ูŠุน ุญุฏุซู†ุง ุฃุจูˆ ู…ุนุงูˆูŠุฉ ุญุฏุซู†ุง ุณุนุฏ ุจู† ุณุนูŠุฏ ุนู† ุนู…ุฑ ุจู† ุซุงุจุช ุนู† ุฃุจูŠ ุฃูŠูˆุจ ู‚ุงู„ ู‚ุงู„ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุซู… ู…ู† ุตุงู… ุฑู…ุถุงู† ุซู… ุฃุชุจุนู‡ ุณุชุง ู…ู† ุดูˆุงู„ ูุฐู„ูƒ ุตูŠุงู… ุงู„ุฏู‡ุฑ
Kepada kami diceriterakan oleh Ahmad bin Muni’, kepada kami diceriterakan oleh Abu Mu’awiyah, kepada kami diceriterakan oleh Sa’ad bin Sa’id, dari Umar bin Tsabit yang bersumber Abi Ayyub yang berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Kemudian, barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diperikutkannya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka yang demikian adalah berpuasa sepanjang masa.”
[4] Secara bahasa Salafi berarti orang-orang yang membangsakan diri kepada kaum salaf, yaitu mencontoh sikap hidup beragama Rasulullah SAW, para sahabat, atau generasi salaf al shaleh; yang pada intinya adalah kembali kepada Islam yang murni, yang belum tercemar --baik oleh tradisi budaya lokal ataupun oleh wacana doktrinal tertentu--yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya, yang biasa juga disebut kaum Salaf. Sebenarnya wacana dan gerakan Salafiyah jauh daripada tunggal dan monolitik. Hal ini bisa disimak dari pemikiran dan gerakan tokoh-tokoh yang biasa diasosiasikan sebagai pencetus dan perumus Salafisme, mulai dari Ibn Taymiyyah (1263-1328), Muhammad ibn Abd al Wahhab (1703-1787), dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pendekatan masing-masing pun berbeda dalam upaya mengajak kaum Muslim untuk kembali kepada Islam Salafi; Ibn Taymiyyah cenderung polemisis, Muhammad ibn Abd al Wahhab suka memakai cara-cara kekerasan, dan Abduh senang dengan pendekatan rasional.
Yang dimaksud dengan gerakan salafi dalam kertas kerja ini adalah munculnya orang-orang yang belakangan ini menyebut diri sendiri Salafi, dengan tokoh-tokoh terkemuka ulama-ulama Timur Tengah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Nashiruddin al Albani, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan al Fauzan dan lain-lain.
Gerakan ini sangat suka menyesatkan ulama di luar golongan mereka yang mereka nilai sudah menyimpang dari jalan hidup salaf al shaleh. Sangat suka mengkritik ulama-ulama di luar mereka dengan cara mengutip karya-karya ulama itu secara partial, dan atas pandangan yang partial itu mereka mengambil kesimpulan umum, seperti menyesatkan pandangan Imam Al Ghazali, Sayyid Quthub, Yusuf Qardhawi, Abul A’la al Maududy dan lain-lain. Mereka juga cenderung menempatkan gerakan ummat Islam di luar mereka sebagai firqah yang sesat, seperti sesatnya gerakan Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, dan lain-lain… dan senang menyebut diri sebagai “firqah al najiyah (kelompok selamat)..”
[5] Hari raya dalam bahasa Arab disebut dengan kata ุนูŠุฏ ุฌ ุฃุนูŠุงุฏ… yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “perayaan, keramaian, atau festival”. Pengertian seperti di atas antara lain dijumpai dalam Shaheh Al Bukhari juz I halaman 324, yang dapat kita kutipkan:
.... ูู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูŠุง ุฃุจุง ุจูƒุฑ ุฅู† ู„ูƒู„ ู‚ูˆู… ุนูŠุฏุง ูˆู‡ุฐุง ุนูŠุฏู†ุง
“….lantas Rasulullah SAW bersabda: Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari raya (keramaian/ festival) dan ini adalah hari raya kita.”
[6] Menurut Buya HAMKA rahimahullah:
“Di tahun 1400 berdiri kerajaan Islam, Malaka. Raja-raja Islam Malaka, mulai daripada Sultan Mahmud Syah, terang-terang menjadi pembela dan penyiar agama Islam. Maka mana rakyat Minangkabau yang tidak merasa puas dengan susunan kebudayaan campuran Hindu – Islam itu, Srimenanti, Jehol, Naning, Lukut dan lain-lain; itulah yang pindah ke tanah Malaka, membuat negeri di Rambau, masyhur dengan nama “Negeri Sembilan”. Raja-raja asal Minangkabau di sana, memakai gelar “yang dipertuan”, dengan singkat “yamtuan”. Supaya perhubungan dengan negeri asal jangan putus, ditetapkan juga daerah itu sebagai rantau dari Tuan Makhdum, yang memang tebal ke-Islamannya.
Sebagai juga Kampar, Indragiri dan Siak menjadi rantau daripada Tuan Qadhi…” (HAMKA “Islam dan Adat Minangkabau” cet I, 1984, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas., halaman 10 -11)
[7] Di Sungai Tonang terdapat sebuah pandam perkuburan yang dinamakan oleh masyarakat dengan “Kubu Niniok Nuwun” pengertian bahasa Indonesianya “Kubur Nenek yang turun dari Kapal”. Diduga bahwa beliau adalah seorang puteri yang berasal dari Malaysia (Malaka?!) yang menyelamatkan diri dari huru hara politik yang terjadi di kerajaannya, bersama pengiringnya yang setia beliau menyeberangi Selat Malaka, memasuki Sungai Kampar, maka dari kapal yang ditumpanginya beliau bersama pengiringnya turun lalu mendarat di Sungai Tonang, wafat dan di kebumikan di sana… Tentang nama, waktu dan peristiwa yang dialami sang puteri, sekarang sedang dalam penyelidikan Pemerintah Kerajaan Malaysia dan Propinsi Riau. Demikian menurut informasi yang penulis terima pada Idul Fitri 1428 H lalu dari warga. Wallu a’lam.
[8] Imam At-Turmuzi mengomentari hadits yang dicantumkan pada catatan kaki sebelumnya (Sunan At-Turmuzi, hadits No 759):
…. ูˆู‚ุฏ ุงุณุชุญุจ ู‚ูˆู… ุตูŠุงู… ุณุชุฉ ุฃูŠุงู… ู…ู† ุดูˆุงู„ ุจู‡ุฐุง ุงู„ุญุฏูŠุซ ู‚ุงู„ ุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ู‡ูˆ ุญุณู† ู‡ูˆ ู…ุซู„ ุตูŠุงู… ุซู„ุงุซุฉ ุฃูŠุงู… ู…ู† ูƒู„ ุดู‡ุฑ ู‚ุงู„ ุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ูˆูŠุฑูˆู‰ ููŠ ุจุนุถ ุงู„ุญุฏูŠุซ ูˆูŠู„ุญู‚ ู‡ุฐุง ุงู„ุตูŠุงู… ุจุฑู…ุถุงู† ูˆุงุฎุชุงุฑ ุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ุฃู† ุชูƒูˆู† ุณุชุฉ ุฃูŠุงู… ููŠ ุฃูˆู„ ุงู„ุดู‡ุฑ ูˆู‚ุฏ ุฑูˆูŠ ุนู† ุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ุงู†ู‡ ู‚ุงู„ ุฅู† ุตุงู… ุณุชุฉ ุฃูŠุงู… ู…ู† ุดูˆุงู„ ู…ุชูุฑู‚ุง ูู‡ูˆ ุฌุงุฆุฒ ......
“…Suatu kaum (ulama) menyukai (mensunatkan) pelaksanaan puasa enam hari dari bulan Syawal, berdasarkan hadits ini. Ibnu Mubarak berkata: ia adalah bagus, (hukumnya) sama dengan (hukum) berpuasa tiga hari setiap bulan. Ibnu Mubarak berkata dan meriwayatkan pada sebagian hadits, serta menggabungkan puasa ini dengan Ramadhan. Ibnu Mubarak memilih bahwa; (pelaksanaannya) adalah enam hari di awal bulan itu. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mubarak bahwa ia berkata: Jika seseorang berpuasa enam hari dari bulan Syawal secara terpisah-pisah, maka yang demikian adalah jaiz (boleh saja).” (At Turmuzi, Op.cit)
[9] Setelah mempelajari dan menimba pelajaran dari pandangan-pandangan para ahli tentang kebudayaan atau kultur, H. Endang Saifuddin Anshari. MA menyimpulkan:
“Kebudayaan (kultur) adalah hasil karya-cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi dan fakultas-fakultas rohaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam pelbagai kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup lahiriah) manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekatra diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spritual dan materiil) manusia, baik “individu” maupun “masyarakat” ataupun “individu dan masyarakat” ….” (H. Endang Saifuddin Anshari, MA. “Agama dan Kebudayaan” cet II 1982, Surabaya. PT. Bina Ilmu, halaman 32).
[10] Teks asli:
ุตุญูŠุญ ู…ุณู„ู… ุฌ: 2 ุต: 592
867 ูˆุญุฏุซู†ูŠ ู…ุญู…ุฏ ุจู† ุงู„ู…ุซู†ู‰ ุญุฏุซู†ุง ุนุจุฏ ุงู„ูˆู‡ุงุจ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู…ุฌูŠุฏ ุนู† ุฌุนูุฑ ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุฌุงุจุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู‚ุงู„ ุซู… ูƒุงู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฅุฐุง ุฎุทุจ ุงุญู…ุฑุช ุนูŠู†ุงู‡ ูˆุนู„ุง ุตูˆุชู‡ ูˆุงุดุชุฏ ุบุถุจู‡ ุญุชู‰ ูƒุฃู†ู‡ ู…ู†ุฐุฑ ุฌูŠุด ูŠู‚ูˆู„ ุตุจุญูƒู… ูˆู…ุณุงูƒู… ูˆูŠู‚ูˆู„ ุจุนุซุช ุฃู†ุง ูˆุงู„ุณุงุนุฉ ูƒู‡ุงุชูŠู† ูˆูŠู‚ุฑู† ุจูŠู† ุฅุตุจุนูŠู‡ ุงู„ุณุจุงุจุฉ ูˆุงู„ูˆุณุทู‰ ูˆูŠู‚ูˆู„ ุฃู…ุง ุจุนุฏ ูุฅู† ุฎูŠุฑ ุงู„ุญุฏูŠุซ ูƒุชุงุจ ุงู„ู„ู‡ ูˆุฎูŠุฑ ุงู„ู‡ุฏู‰ ู‡ุฏู‰ ู…ุญู…ุฏ ูˆุดุฑ ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ู…ุญุฏุซุงุชู‡ุง ูˆูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ุซู… ูŠู‚ูˆู„ ุฃู†ุง ุฃูˆู„ู‰ ุจูƒู„ ู…ุคู…ู† ู…ู† ู†ูุณู‡ ู…ู† ุชุฑูƒ ู…ุงู„ุง ูู„ุฃู‡ู„ู‡ ูˆู…ู† ุชุฑูƒ ุฏูŠู†ุง ุฃูˆ ุถูŠุงุนุง ูุฅู„ูŠ ูˆุนู„ูŠ
[11] Teks asli
ุตุญูŠุญ ุงุจู† ุญุจุงู† ุฌ: 1 ุต: 178- 180
ุฐูƒุฑ ูˆุตู ุงู„ูุฑู‚ุฉ ุงู„ู†ุงุฌูŠุฉ ู…ู† ุจูŠู† ุงู„ูุฑู‚ ุงู„ุชูŠ ุชูุชุฑู‚ ุนู„ูŠู‡ุง ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… 5 ุฃุฎุจุฑู†ุง ุฃุญู…ุฏ ุจู† ู…ูƒุฑู… ุจู† ุฎุงู„ุฏ ุงู„ุจุฑุชูŠ ุญุฏุซู†ุง ุนู„ูŠ ุจู† ุงู„ู…ุฏูŠู†ูŠ ุญุฏุซู†ุง ุงู„ูˆู„ูŠุฏ ุจู† ู…ุณู„ู… ุญุฏุซู†ุง ุซูˆุฑ ุจู† ู…ุณู„ู… ุญุฏุซู†ุง ุซูˆุฑ ุจู† ูŠุฒูŠุฏ ุญุฏุซู†ูŠ ุฎุงู„ุฏ ุจู† ู…ุนุฏุงู† ุญุฏุซู†ูŠ ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุนู…ุฑูˆ ุงู„ุณู„ู…ูŠ ูˆุญุฌุฑ ุจู† ุญุฌุฑ ุงู„ูƒู„ุงุนูŠ ู‚ุงู„ุง ุซู… ุฃุชูŠู†ุง ุงู„ุนุฑุจุงุถ ุจู† ุณุงุฑูŠุฉ ูˆู‡ูˆ ู…ู…ู† ู†ุฒู„ ููŠู‡ ูˆู„ุง ุนู„ู‰ ุงู„ุฐูŠู† ุฅุฐุง ู…ุง ุฃุชูˆูƒ ู„ุชุญู…ู„ู‡ู… ู‚ู„ุช ู„ุง ุฃุฌุฏ ู…ุง ุฃุญู…ู„ูƒู… ุนู„ูŠู‡ ูุณู„ู…ู†ุง ูˆู‚ู„ู†ุง ุฃุชูŠู†ุงูƒ ุฒุงุฆุฑูŠู† ูˆู…ู‚ุชุจุณูŠู† ูู‚ุงู„ ุงู„ุนุฑุจุงุถ ุตู„ู‰ ุจู†ุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุงู„ุตุจุญ ุฐุงุช ูŠูˆู… ุซู… ุฃู‚ุจู„ ุนู„ูŠู†ุง ููˆุนุธู†ุง ู…ูˆุนุธุฉ ุจู„ูŠุบุฉ ุฐุฑูุช ู…ู†ู‡ุง ุงู„ุนูŠูˆู† ูˆูˆุฌู„ุช ู…ู†ู‡ุง ุงู„ู‚ู„ูˆุจ ูู‚ุงู„ ู‚ุงุฆู„ ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ูƒุฃู† ู‡ุฐู‡ ู…ูˆุนุธุฉ ู…ูˆุฏุน ูู…ุงุฐุง ุชุนู‡ุฏ ุฅู„ูŠู†ุง ู‚ุงู„ ุฃูˆุตูŠูƒู… ุจุชู‚ูˆู‰ ุงู„ู„ู‡ ูˆุงู„ุณู…ุน ูˆุงู„ุทุงุนุฉ ูˆุฅู† ุนุจุฏุง ุญุจุดูŠุง ู…ุฌุฏุนุง ูุฅู†ู‡ ู…ู† ูŠุนุด ู…ู†ูƒู… ูุณูŠุฑู‰ ุงุฎุชู„ุงูุง ูƒุซูŠุฑุง ูุนู„ูŠูƒู… ุจุณู†ุชูŠ ูˆุณู†ุฉ ุงู„ุฎู„ูุงุก ุงู„ุฑุงุดุฏูŠู† ุงู„ู…ู‡ุฏูŠูŠู† ูุชู…ุณูƒูˆุง ุจู‡ุง ูˆุนุถูˆุง ุนู„ูŠู‡ุง ุจุงู„ู†ูˆุงุฌุฐ ูˆุฅูŠุงูƒู… ูˆู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ูุฅู† ูƒู„ ู…ุญุฏุซุฉ ุจุฏุนุฉ ูˆูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ
Hadits yang mengandung pengertian yang sama dengan berbagai versi dan redaksi dijumpai pada:
ุงู„ู…ุณุชุฏุฑูƒ ุนู„ู‰ ุงู„ุตุญูŠุญูŠู† ุฌ: 1 ุต: 176 ุงู„ู…ุณู†ุฏ ุงู„ู…ุณุชุฎุฑุฌ ุนู„ู‰ ุตุญูŠุญ ุงู„ุฅู…ุงู… ู…ุณู„ู… ุฌ: 1 ุต: 35 ุงู„ู…ุณู†ุฏ ุงู„ู…ุณุชุฎุฑุฌ ุนู„ู‰ ุตุญูŠุญ ุงู„ุฅู…ุงู… ู…ุณู„ู… ุฌ: 1 ุต: 37 ู…ูˆุงุฑุฏ ุงู„ุธู…ุขู† ุฌ: 1 ุต: 56 ุณู†ู† ุงู„ุชุฑู…ุฐูŠ ุฌ: 5 ุต: 44 ุณู†ู† ุงู„ุฏุงุฑู…ูŠ ุฌ: 1 ุต: 57 ุณู†ู† ุฃุจูŠ ุฏุงูˆุฏ ุฌ: 4 ุต: 200 ุณู†ู† ุงุจู† ู…ุงุฌู‡ ุฌ: 1 ุต: 15 ู…ุณู†ุฏ ุฃุญู…ุฏ ุฌ: 4 ุต: 126 ุฅูŠู‚ุงุธ ุงู„ู‡ู…ู… ุฌ: 1 ุต: 45
[12] Teks asli
ุตุญูŠุญ ุงู„ุจุฎุงุฑูŠ ุฌ: 2 ุต: 959
ุญุฏุซู†ุง ูŠุนู‚ูˆุจ ุญุฏุซู†ุง ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ุจู† ุณุนุฏ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุงู„ู‚ุงุณู… ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ุง ู‚ุงู„ุช ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุซู… ู…ู† ุฃุญุฏุซ ููŠ ุฃู…ุฑู†ุง ู‡ุฐุง ู…ุง ู„ูŠุณ ููŠู‡ ูู‡ูˆ ุฑุฏ ุฑูˆุงู‡ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุฌุนูุฑ ุงู„ู…ุฎุฑู…ูŠ ูˆุนุจุฏ ุงู„ูˆุงุญุฏ ุจู† ุฃุจูŠ ุนูˆู† ุนู† ุณุนุฏ ุจู† ุฅุจุฑุงู‡ูŠู…
ุตุญูŠุญ ู…ุณู„ู… ุฌ: 3 ุต: 1343
ุจุงุจ ู†ู‚ุถ ุงู„ุฃุญูƒุงู… ุงู„ุจุงุทู„ุฉ ูˆุฑุฏ ู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุฃู…ูˆุฑ 1718 ุญุฏุซู†ุง ุฃุจูˆ ุฌุนูุฑ ู…ุญู…ุฏ ูˆุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนูˆู† ุงู„ู‡ู„ุงู„ูŠ ุฌู…ูŠุนุง ุนู† ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ุจู† ุณุนุฏ ู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ุง ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ุจู† ุณุนุฏ ุจู† ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุนูˆู ุญุฏุซู†ุง ุฃุจูŠ ุนู† ุงู„ู‚ุงุณู… ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ู‚ุงู„ุช ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุซู… ู…ู† ุฃุญุฏุซ ููŠ ุฃู…ุฑู†ุง ู‡ุฐุง ู…ุง ู„ูŠุณ ู…ู†ู‡ ูู‡ูˆ ุฑุฏ 1718 ูˆุญุฏุซู†ุง ุฅุณุญุงู‚ ุจู† ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ูˆุนุจุฏ ุจู† ุญู…ูŠุฏ ุฌู…ูŠุนุง ุนู† ุฃุจูŠ ุนุงู…ุฑ ู‚ุงู„ ุนุจุฏ ุญุฏุซู†ุง ุนุจุฏ ุงู„ู…ู„ูƒ ุจู† ุนู…ุฑูˆ ุญุฏุซู†ุง ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุฌุนูุฑ ุงู„ุฒู‡ุฑูŠ ุนู† ุณุนุฏ ุจู† ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ู‚ุงู„ ุซู… ุณุฃู„ุช ุงู„ู‚ุงุณู… ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุนู† ุฑุฌู„ ู„ู‡ ุซู„ุงุซุฉ ู…ุณุงูƒู† ูุฃูˆุตู‰ ุจุซู„ุซ ูƒู„ ู…ุณูƒู† ู…ู†ู‡ุง ู‚ุงู„ ูŠุฌู…ุน ุฐู„ูƒ ูƒู„ู‡ ููŠ ู…ุณูƒู† ูˆุงุญุฏ ุซู… ู‚ุงู„ ุฃุฎุจุฑุชู†ูŠ ุนุงุฆุดุฉ ุฃู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ู…ู† ุนู…ู„ ุนู…ู„ุง ู„ูŠุณ ุนู„ูŠู‡ ุฃู…ุฑู†ุง ูู‡ูˆ ุฑุฏ
Hadits yang sama dapat dijumpai pada:
ุตุญูŠุญ ุงุจู† ุญุจุงู† ุฌ: 1 ุต: 207 ู…ุณู†ุฏ ุฃุจูŠ ุนูˆุงู†ุฉ 1 ุฌ: 4 ุต: 170 – 171 ุณู†ู† ุงู„ุจูŠู‡ู‚ูŠ ุงู„ูƒุจุฑู‰ ุฌ: 10 ุต: 119 ุณู†ู† ุงู„ุจูŠู‡ู‚ูŠ ุงู„ูƒุจุฑู‰ ุฌ: 10 ุต: 150 ุงู„ู…ู†ุชู‚ู‰ ู„ุงุจู† ุงู„ุฌุงุฑูˆุฏ ุฌ: 1 ุต: 251 ุณู†ู† ุงู„ุฏุงุฑู‚ุทู†ูŠ ุฌ: 4 ุต: 224 ุณู†ู† ุงู„ุฏุงุฑู‚ุทู†ูŠ ุฌ: 4 ุต: 227 ุณู†ู† ุฃุจูŠ ุฏุงูˆุฏ ุฌ: 4 ุต: 200 ุณู†ู† ุงุจู† ู…ุงุฌู‡ ุฌ: 1 ุต: 7
[13] Teks hadits
ุตุญูŠุญ ุงู„ุจุฎุงุฑูŠ ุฌ: 2 ุต: 707
1906 ูˆุนู† ุจู† ุดู‡ุงุจ ุนู† ุนุฑูˆุฉ ุจู† ุงู„ุฒุจูŠุฑ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู‚ุงุฑูŠ ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ ุซู… ุฎุฑุฌุช ู…ุน ุนู…ุฑ ุจู† ุงู„ุฎุทุงุจ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ู„ูŠู„ุฉ ููŠ ุฑู…ุถุงู† ุฅู„ู‰ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ูุฅุฐุง ุงู„ู†ุงุณ ุฃูˆุฒุงุน ู…ุชูุฑู‚ูˆู† ูŠุตู„ูŠ ุงู„ุฑุฌู„ ุงู„ุฑุฌู„ ููŠุตู„ูŠ ุจุตู„ุงุชู‡ ุงู„ุฑู‡ุท ูู‚ุงู„ ุนู…ุฑ ุฅู†ูŠ ุฃุฑู‰ ู„ูˆ ุฌู…ุนุช ู‡ุคู„ุงุก ุนู„ู‰ ู‚ุงุฑุฆ ูˆุงุญุฏ ู„ูƒุงู† ุฃู…ุซู„ ุซู… ุนุฒู… ูุฌู…ุนู‡ู… ุนู„ู‰ ุฃุจูŠ ุจู† ูƒุนุจ ุซู… ุฎุฑุฌุช ู…ุนู‡ ู„ูŠู„ุฉ ุฃุฎุฑู‰ ูˆุงู„ู†ุงุณ ู‚ุงุฑุฆู‡ู… ู‚ุงู„ ุนู…ุฑ ู†ุนู… ุงู„ุจุฏุนุฉ ู‡ุฐู‡ ูˆ ุงู„ุชู‰ ูŠู†ุงู…ูˆู† ุนู†ู‡ุง ุฃูุถู„ ู…ู† ุงู„ุชูŠ ูŠู‚ูˆู…ูˆู† ูŠุฑูŠุฏ ุขุฎุฑ ุงู„ู„ูŠู„ ูˆูƒุงู† ุงู„ู†ุงุณ ูŠู‚ูˆู…ูˆู† ุฃูˆู„ู‡
Hadits yang senada dapat dijumpai pada:
ุงู„ุณู†ู† ุงู„ุตุบุฑู‰ ุฌ: 1 ุต: 481 ู…ูˆุทุฃ ู…ุงู„ูƒ ุฌ: 1 ุต: 114
[14] Teks hadits
ุณู†ู† ุงู„ุชุฑู…ุฐูŠ ุฌ: 5 ุต: 45
2677 ุญุฏุซู†ุง ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุฃุฎุจุฑู†ุง ู…ุญู…ุฏ ุจู† ุนูŠูŠู†ุฉ ุนู† ู…ุฑูˆุงู† ุจู† ู…ุนุงูˆูŠุฉ ุงู„ูุฒุงุฑูŠ ุนู† ูƒุซูŠุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู‡ูˆ ุจู† ุนู…ุฑูˆ ุจู† ุนูˆู ุงู„ู…ุฒู†ูŠ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุฌุฏู‡ ุฃู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ู„ุจู„ุงู„ ุจู† ุงู„ุญุฑุซ ุงุนู„ู… ู‚ุงู„ ุซู… ู…ุง ุฃุนู„ู… ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ู‚ุงู„ ุงุนู„ู… ูŠุง ุจู„ุงู„ ู‚ุงู„ ู…ุง ุฃุนู„ู… ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ู‚ุงู„ ุฃู†ู‡ ู…ู† ุฃุญูŠุง ุณู†ุฉ ู…ู† ุณู†ุชูŠ ู‚ุฏ ุฃู…ูŠุชุช ุจุนุฏูŠ ูุฅู† ู„ู‡ ู…ู† ุงู„ุฃุฌุฑ ู…ุซู„ ู…ู† ุนู…ู„ ุจู‡ุง ุฃู† ูŠู†ู‚ุต ู…ู† ุฃุฌูˆุฑู‡ู… ุดูŠุฆุง ูˆู…ู† ุงุจุชุฏุน ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ู„ุง ุชุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ูˆุฑุณูˆู„ู‡ ูƒุงู† ุนู„ูŠู‡ ู…ุซู„ ุขุซุงู… ู…ู† ุนู…ู„ ุจู‡ุง ู„ุง ูŠู†ู‚ุต ุฐู„ูƒ ู…ู† ุฃูˆุฒุงุฑ ุงู„ู†ุงุณ ุดูŠุฆุง ู‚ุงู„ ุฃุจูˆ ุนูŠุณู‰ ู‡ุฐุง ุญุฏูŠุซ ุญุณู† ูˆู…ุญู…ุฏ ุจู† ุนูŠูŠู†ุฉ ู‡ูˆ ู…ุตูŠุตูŠ ุดุงู…ูŠ ูˆูƒุซูŠุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู‡ูˆ ุจู† ุนู…ุฑูˆ ุจู† ุนูˆู ุงู„ู…ุฒู†ูŠ
[15] Teks asli hadits
ุตุญูŠุญ ู…ุณู„ู… ุฌ: 4 ุต: 2059
ุจุงุจ ู…ู† ุณู† ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ ุฃูˆ ุณูŠุฆุฉ ูˆู…ู† ุฏุนุง ุฅู„ู‰ ู‡ุฏู‰ ุฃูˆ ุถู„ุงู„ุฉ 1017 ุญุฏุซู†ูŠ ุฒู‡ูŠุฑ ุจู† ุญุฑุจ ุญุฏุซู†ุง ุฌุฑูŠุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุญู…ูŠุฏ ุนู† ุงู„ุฃุนู…ุด ุนู† ู…ูˆุณู‰ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ูŠุฒูŠุฏ ูˆุฃุจูŠ ุงู„ุถุญู‰ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ู‡ู„ุงู„ ุงู„ุนุจุณูŠ ุนู† ุฌุฑูŠุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู‚ุงู„ ุซู… ุฌุงุก ู†ุงุณ ู…ู† ุงู„ุฃุนุฑุงุจ ุฅู„ู‰ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนู„ูŠู‡ู… ุงู„ุตูˆู ูุฑุฃู‰ ุณูˆุก ุญุงู„ู‡ู… ู‚ุฏ ุฃุตุงุจุชู‡ู… ุญุงุฌุฉ ูุญุซ ุงู„ู†ุงุณ ุนู„ู‰ ุงู„ุตุฏู‚ุฉ ูุฃุจุทุคุง ุนู†ู‡ ุญุชู‰ ุฑุคู‰ ุฐู„ูƒ ููŠ ูˆุฌู‡ู‡ ู‚ุงู„ ุซู… ุฅู† ุฑุฌู„ุง ู…ู† ุงู„ุฃู†ุตุงุฑ ุฌุงุก ุจุตุฑุฉ ู…ู† ูŠู†ูˆูŠ ุซู… ุฌุงุก ุขุฎุฑ ุซู… ุชุชุงุจุนูˆุง ุญุชู‰ ุนุฑู ุงู„ุณุฑูˆุฑ ููŠ ูˆุฌู‡ู‡ ูู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู…ู† ุณู† ููŠ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ ูุนู…ู„ ุจู‡ุง ุจุนุฏู‡ ูƒุชุจ ู„ู‡ ู…ุซู„ ุฃุฌุฑ ู…ู† ุนู…ู„ ุจู‡ุง ูˆู„ุง ูŠู†ู‚ุต ู…ู† ุฃุฌูˆุฑู‡ู… ุดูŠุก ูˆู…ู† ุณู† ููŠ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ ูุนู…ู„ ุจู‡ุง ุจุนุฏู‡ ูƒุชุจ ุนู„ูŠู‡ ู…ุซู„ ูˆุฒุฑ ู…ู† ุนู…ู„ ุจู‡ุง ูˆู„ุง ูŠู†ู‚ุต ู…ู† ุฃูˆุฒุงุฑู‡ู… ุดูŠุก
Hadits senada dengan berbagai versi antara lain pada:
ุตุญูŠุญ ู…ุณู„ู… ุฌ: 2 ุต: 705 .... ุตุญูŠุญ ุงุจู† ุฎุฒูŠู…ุฉ ุฌ: 4 ุต: 112 165 ุจุงุจ ุงุณุชุญุจุงุจ ุงู„ุฅุนู„ุงู† ุจุงู„ุตุฏู‚ุฉ ู†ุงูˆูŠุง ู„ุงุณุชู†ุงู† ุงู„ู†ุงุณ ุจุงู„ู…ุชุตุฏู‚ ููŠูƒุชุจ ู„ู…ุจุชุฏู‰ุก ุงู„ุตุฏู‚ุฉ ู…ุซู„ ุฃุฌุฑ ุงู„ู…ุชุตุฏู‚ูŠู† ุฅุณุชู†ุงู†ุง ุจู‡ .... ุตุญูŠุญ ุงุจู† ุญุจุงู† ุฌ: 8 ุต: 101 9 ุจุงุจ ุตุฏู‚ุฉ ุงู„ุชุทูˆุน.... ุงู„ู…ุณู†ุฏ ุงู„ู…ุณุชุฎุฑุฌ ุนู„ู‰ ุตุญูŠุญ ุงู„ุฅู…ุงู… ู…ุณู„ู… ุฌ: 3 ุต: 93 ุงู„ู…ุณู†ุฏ ุงู„ู…ุณุชุฎุฑุฌ ุนู„ู‰ ุตุญูŠุญ ุงู„ุฅู…ุงู… ู…ุณู„ู… ุฌ: 3 ุต: 94 ..... ุณู†ู† ุงู„ุฏุงุฑู…ูŠ ุฌ: 1 ุต: 140 44 ุจุงุจ ู…ู† ุณู† ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ ุฃูˆ ุณูŠุฆุฉ
[16] Ibn Manzur, Muhammad bin Mukram (t.t.), “Lisan al ‘Arab”, Beirut: Dar al Sadir. Juz VIII halaman 6:
. ุจุฏุน ุจุฏุน : ุจุฏَุน ุงู„ุดูŠุกَ ูŠَุจْุฏَุนُู‡ ุจَุฏْุนุงً ูˆ ุงุจْุชَุฏَุนَู‡: ุฃَู†ุดุฃَู‡ ูˆุจุฏุฃَู‡. ูˆ ุจุฏุน ุงู„ุฑَّูƒِูŠّุฉ: ุงุณْุชَู†ْุจَุทَู‡ุง ูˆุฃَุญุฏَุซู‡ุง. ูˆุฑَูƒْูŠُّ ุจَุฏِูŠุนٌ: ุญَุฏูŠุซุฉُ ุงู„ู€ุญَูْุฑ. ูˆ ุงู„ุจَุฏِูŠุนُ ูˆ ุงู„ุจِุฏْุนُ: ุงู„ุดูŠุก ุงู„ุฐูŠ ูŠูƒูˆู† ุฃَูˆّู„ุงً. ูˆูู€ูŠ ุงู„ุชู†ุฒูŠู„: ู‚ُู„ ู…ุง ูƒู†ุชُ ุจِุฏْุนุงً ู…ู† ุงู„ุฑُّุณُู„ ؛ ุฃَูŠ ู…ุง ูƒู†ุช ุฃَูˆّู„َ ู…ู† ุฃُุฑْุณِู„َ، ู‚ุฏ ุฃُุฑุณู„ ู‚ุจู„ู€ูŠ ุฑُุณُู„ٌ ูƒุซู€ูŠุฑ. ูˆ ุงู„ุจِุฏْุนุฉُ: ุงู„ู€ุญَุฏَุซ ูˆู…ุง ุงุจْุชُุฏِุนَ ู…ู† ุงู„ุฏِّูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ุฅِูƒู…ุงู„. ุงุจู† ุงู„ุณูƒูŠุช: ุงู„ุจِุฏْุนุฉُ ูƒู„ُّ ู…ُู€ุญْุฏَุซุฉٍ
[17] Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar”, tahqiq: Thahir Ahmad Az Zawi – Mahmud Muhammad At Thanahi, 1399 H/ 1979 M, Beirut: Al Maktabah Al Ilmiyah.
ุงู„ู†ู‡ุงูŠุฉ ููŠ ุบุฑูŠุจ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฌ: 1 ุต: 106
ุจุฏุน ููŠ ุฃุณู…ุงุก ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุงู„ุจุฏูŠุน ู‡ูˆ ุงู„ุฎุงู„ู‚ ุงู„ู…ุฎุชَุฑุน ู„ุง ุนู† ู…ِุซุงู„ ุณุงุจู‚, ูَุนِูŠู„ ุจู…ุนู†ู‰ ู…ُูْุนِู„ . ูŠู‚ุงู„ ุฃุจุฏَุน ูู‡ูˆ ู…ُุจْุฏِุน . ู‡ู€ ูˆููŠู‡ ุฃู† ุชِู‡ุงَู…ุฉ ูƒุจَุฏِูŠุน ุงู„ุนุณَู„ , ุญُู„ْูˆ ุฃูˆّู„ู‡ ุญُู„ْูˆ ุขุฎุฑู‡ ุงู„ุจุฏูŠุน : ุงู„ุฒِّู‚ُ ุงู„ุฌَุฏِูŠุฏ , ุดَุจَّู‡ ุจู‡ ุชِู‡ุงู…ุฉ ู„ِุทูŠุจ ู‡ูˆุงุฆู‡ุง , ูˆุฃู†ู‡ ู„ุง ูŠุชุบูŠَّุฑ ูƒู…ุง ุฃู† ุงู„ุนุณู„ ู„ุง ูŠุชุบูŠุฑ.
[18] Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, tahqiq: Mahmud Khatir. Juz I halaman 18 :
ุจ ุฏ ุน ุฃุจْุฏَุนَ ุงู„ุดูŠุก ุงุฎุชุฑุนู‡ ู„ุงุนู„ู‰ ู…ุซุงู„ ูˆุงู„ู„ู‡ ุจุฏูŠุน ุงู„ุณู…ุงูˆุงุช ูˆุงู„ุฃุฑุถ ุฃูŠ ู…ُุจْุฏุนู‡ُู…ุง ูˆ ุงู„ุจุฏูŠุนُ ุงู„ู…ุจุชุฏุน ูˆ ุงู„ู…ُุจْุชَุฏَุนُ ุฃูŠุถุง ูˆ ุงู„ุจุฏูŠุนُ ุฃูŠุถุง ุงู„ุฒู‚ ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฅู† ุชู‡ุงู…ุฉ ูƒุจุฏูŠุน ุงู„ุนุณู„ ุญู„ูˆ ุฃูˆู„ู‡ ุญู„ูˆ ุขุฎุฑู‡ ุดุจู‡ู‡ุง ุจุฒู‚ ุงู„ุนุณู„ ู„ุฃู†ู‡ ู„ุง ูŠุชุบูŠุฑ ุจุฎู„ุงู ุงู„ู„ุจู† ูˆ ุฃุจْุฏَุนَ ุงู„ุดุงุนุฑ ุฌุงุก ุจุงู„ุจุฏูŠุน ูˆุดูŠุก ุจِุฏْุนٌ ุจุงู„ูƒุณุฑ ุฃูŠ ู…ุจุชุฏุน ูˆูู„ุงู† ุจِุฏْุนٌ ููŠ ู‡ุฐุง ุงู„ุฃู…ุฑ ุฃูŠ ุจุฏูŠุน ูˆู…ู†ู‡ ู‚ูˆู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ู‚ู„ ู…ุง ูƒู†ุช ุจุฏุนุง ู…ู† ุงู„ุฑุณู„ ูˆ ุงู„ุจِุฏْุนุฉُ ุงู„ุญุฏุซ ููŠ ุงู„ุฏูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ุฅูƒู…ุงู„ ูˆ ุงุณุชَุจْุฏَุนَู‡ُ ุนุฏู‡ ุจุฏูŠุนุง ูˆ ุจَุฏَّุนَู‡ُ ุชุจْุฏِูŠุนَุงً ู†ุณุจู‡ ุฅู„ู‰ ุงู„ุจุฏุนุฉ
[19] Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar” Op.Cit Juz I halaman 106:
ุงู„ุจุฏุนุฉ ุจِุฏْุนَุชุงَู† : ุจุฏุนุฉ ู‡ُุฏู‰, ูˆุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ , ูู…ุง ูƒุงู† ููŠ ุฎู„ุงู ู…ุง ุฃู…َุฑ ุงู„ู„ู‡ ุจู‡ ูˆุฑุณูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูู‡ูˆ ููŠ ุญَูŠّุฒ ุงู„ุฐّู… ูˆุงู„ุฅู†ูƒุงุฑ , ูˆู…ุง ูƒุงู† ูˆุงู‚ุนุง ุชุญุช ุนُู…ูˆู… ู…ุง ู†َุฏุจ ุงู„ู„ู‡ ุฅู„ูŠู‡ ูˆุญَุถَّ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ู„ู‡ ุฃูˆ ุฑุณูˆู„ู‡ ูู‡ูˆ ููŠ ุญَูŠّุฒ ุงู„ู…ุฏุญ.
[20] “Lisan al Arab”, Op. Cit, Juz VIII halaman 6:
ุงุจู† ุงู„ุฃَุซู€ูŠุฑ: ุงู„ุจِุฏْุนุฉُ ุจุฏْุนุชุงู†: ุจุฏุนุฉُ ู‡ُุฏู‰، ูˆ ุจِุฏุนุฉ ุถَู„ุงู„، ูู…ุง ูƒุงู† ูู€ูŠ ุฎู„ุงู ู…ุง ุฃَู…ุฑ ุงู„ู„ู‡ ุจู‡ ูˆุฑุณูˆู„ู‡ ، ูู‡ูˆ ูู€ูŠ ุญَูŠِุฒّ ุงู„ุฐّู…ِّ ูˆุงู„ุฅِู†ูƒุงุฑ، ูˆู…ุง ูƒุงู† ูˆุงู‚ุนุงً ุชู€ุญุช ุนُู…ูˆู… ู…ุง ู†ุฏَุจ ุงู„ู„ู‡ ุฅِู„ู€ูŠู‡ ูˆุญَุถّ ุนู„ู€ูŠู‡ ุฃَูˆ ุฑุณูˆู„ُู‡ ูู‡ูˆ ูู€ูŠ ุญูŠِّุฒ ุงู„ู€ู…ุฏุญ
[21] Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “Al I’tisham”, 1406 H 1986 M, Beirut, Dar al Ma’rifah, Juz I halaman 36-37:
ุซุจุช ููŠ ุนู„ู… ุงู„ุฃุตูˆู„ ุฃู† ุงู„ุฃุญูƒุงู… ุงู„ู…ุชุนู„ู‚ุฉ ุจุฃูุนุงู„ ุงู„ุนุจุงุฏ ูˆุฃู‚ูˆุงู„ู‡ู… ุซู„ุงุซุฉ : ุญูƒู… ูŠู‚ุชุถูŠู‡ ู…ุนู†ู‰ ุงู„ุฃู…ุฑ ูƒุงู† ู„ู„ุฅูŠุฌุงุจ ุฃูˆ ุงู„ู†ุฏุจ ูˆุญูƒู… ูŠู‚ุชุถูŠู‡ ู…ุนู†ู‰ ุงู„ู†ู‡ูŠ ูƒุงู† ู„ู„ูƒุฑุงู‡ุฉ ุฃูˆ ุงู„ุชุญุฑูŠู… ูˆุญูƒู… ูŠู‚ุชุถูŠู‡ ู…ุนู†ู‰ ุงู„ุชุฎูŠูŠุฑ ูˆู‡ูˆ ุงู„ุฅุจุงุญุฉ ูุฃูุนุงู„ ุงู„ุนุจุงุฏ ูˆุฃู‚ูˆุงู„ู‡ู… ู„ุง ุชุนุฏูˆ ู‡ุฐู‡ ุงู„ุฃู‚ุณุงู… ุงู„ุซู„ุงุซุฉ : ู…ุทู„ูˆุจ ูุนู„ู‡ ูˆู…ุทู„ูˆุจ ุชุฑูƒุฉ ูˆู…ุฃุฐูˆู† ููŠ ูุนู„ู‡ ูˆุชุฑูƒู‡ ูˆุงู„ู…ุทู„ูˆุจ ุชุฑูƒู‡ ู„ู… ูŠุทู„ุจ ุชุฑูƒู‡ ุฅู„ุง ู„ูƒูˆู†ู‡ ู…ุฎุงู„ูุง ู„ู„ู‚ุณู…ูŠู† ุงู„ุฃุฎูŠุฑูŠู† ู„ูƒู†ู‡ ุนู„ู‰ ุถุฑุจูŠู† :
ุฃุญุฏู‡ู…ุง : ุฃู† ูŠุทู„ุจ ุชุฑูƒู‡ ูˆูŠู†ู‡ู‰ ุนู†ู‡ ู„ูƒูˆู†ู‡ ู…ุฎุงู„ูุฉ ุฎุงุตุฉ ู…ุน ู…ุฌุฑุฏ ุงู„ู†ุธุฑ ุนู† ุบูŠุฑ ุฐู„ูƒ ูˆู‡ูˆ ุฅู† ูƒุงู† ู…ุญุฑู…ุง ุณู…ูŠ ูุนู„ุง ู…ุนุตูŠุฉ ูˆุฅุซู…ุง ูˆุณู…ูŠ ูุงุนู„ู‡ ุนุงุตูŠุง ูˆุขุซู…ุง ูˆุฅู„ุง ู„ู… ูŠุณู… ุจุฐู„ูƒ ูˆุฏุฎู„ ููŠ ุญูƒู… ุงู„ุนููˆ ุญุณุจู…ุง ู‡ูˆ ู…ุจูŠู† ููŠ ุบูŠุฑ ู‡ุฐุง ุงู„ู…ูˆุถุน ูˆู„ุง ูŠุณู…ู‰ ุจุญุณุจ ุงู„ูุนู„ ุฌุงุฆุฒุง ูˆู„ุง ู…ุจุงุญุง ู„ุฃู† ุงู„ุฌู…ุน ุจูŠู† ุงู„ุฌูˆุงุฒ ูˆุงู„ู†ู‡ูŠ ุฌู…ุน ุจูŠู† ู…ุชู†ุงููŠูŠู†
ูˆุงู„ุซุงู†ูŠ : ุฃู† ูŠุทู„ุจ ุชุฑูƒู‡ ูˆูŠู†ู‡ู‰ ุนู†ู‡ ู„ูƒูˆู†ู‡ ู…ุฎุงู„ูุฉ ู„ุธุงู‡ุฑ ุงู„ุชุดุฑูŠุน ู…ู† ุฌู‡ุฉ ุถุฑุจ ุงู„ุญุฏูˆุฏ ูˆุชุนูŠูŠู† ุงู„ูƒูŠููŠุงุช ูˆุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ู‡ูŠุฆุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ ุฃูˆ ุงู„ุฃุฒู…ู†ุฉ ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ ู…ุน ุงู„ุฏูˆุงู… ูˆู†ุญูˆ ุฐู„ูƒ
ูˆู‡ุฐุง ู‡ูˆ ุงู„ุงุจุชุฏุงุน ูˆุงู„ุจุฏุนุฉ ูˆูŠุณู…ู‰ ูุงุนู„ู‡ ู…ุจุชุฏุนุง
[22] Ibid.
ูุงู„ุจุฏุนุฉ ุฅุฐู† ุนุจุงุฑุฉ ุนู† ุทุฑูŠู‚ุฉ ููŠ ุงู„ุฏูŠู† ู…ุฎุชุฑุนุฉ ุชุถุงู‡ูŠ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ูŠู‚ุตุฏ ุจุงู„ุณู„ูˆูƒ ุนู„ูŠู‡ุง ุงู„ู…ุจุงู„ุบุฉ ููŠ ุงู„ุชุนุจุฏ ู„ู„ู‡ ุณุจุญุงู†ู‡ ูˆู‡ุฐุง ุนู„ู‰ ุฑุฃูŠ ู…ู† ู„ุง ูŠุฏุฎู„ ุงู„ุนุงุฏุงุช ููŠ ู…ุนู†ู‰ ุงู„ุจุฏุนุฉ ูˆุฅู†ู…ุง ูŠุฎุตู‡ุง ุจุงู„ุนุจุงุฏุงุช ูˆุฃู…ุง ุนู„ู‰ ุฑุฃูŠ ู…ู† ุฃุฏุฎู„ ุงู„ุฃุนู…ุงู„ ุงู„ุนุงุฏูŠุฉ ููŠ ู…ุนู†ู‰ ุงู„ุจุฏุนุฉ ููŠู‚ูˆู„ : ุงู„ุจุฏุนุฉ ุทุฑูŠู‚ุฉ ููŠ ุงู„ุฏูŠู† ู…ุฎุชุฑุนุฉ ุชุถุงู‡ูŠ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ูŠู‚ุตุฏ ุจุงู„ุณู„ูˆูƒ ุนู„ูŠู‡ุง ู…ุง ูŠู‚ุตุฏ ุจุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ูˆู„ุง ุจุฏ ู…ู† ุจูŠุงู† ุฃู„ูุงุธ ู‡ุฐุง ุงู„ุญุฏ ูุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุงู„ุณุจูŠู„ ูˆุงู„ุณู†ู† ู‡ูŠ ุจู…ุนู†ู‰ ูˆุงุญุฏ ูˆู‡ูˆ ู…ุง ุฑุณู… ู„ู„ุณู„ูˆูƒ ุนู„ูŠู‡ ูˆุฅู†ู…ุง ู‚ูŠุฏุช ุจุงู„ุฏูŠู† ู„ุฃู†ู‡ุง ููŠู‡ ุชุฎุชุฑุน ูˆุฅู„ูŠู‡ ูŠุถูŠูู‡ุง ุตุงุญุจู‡ุง ูˆุฃูŠุถุง ูู„ูˆ ูƒุงู†ุช ุทุฑูŠู‚ุฉ ู…ุฎุชุฑุนุฉ ููŠ ุงู„ุฏู†ูŠุง ุนู„ู‰ ุงู„ุฎุตูˆุต ู„ู… ุชุณู… ุจุฏุนุฉ ูƒุฅุญุฏุงุซ ุงู„ุตู†ุงุฆุน ูˆุงู„ุจู„ุฏุงู† ุงู„ุชูŠ ู„ุง ุนู‡ุฏ ุจู‡ุง ููŠู…ุง ุชู‚ุฏู…
[23] Ibid.
ูˆู„ู…ุง ูƒุงู†ุช ุงู„ุทุฑุงุฆู‚ ููŠ ุงู„ุฏูŠู† ุชู†ู‚ุณู… ู€ ูู…ู†ู‡ุง ู…ุง ู„ู‡ ุฃุตู„ ููŠ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูˆู…ู†ู‡ุง ู…ุง ู„ูŠุณ ู„ู‡ ุฃุตู„ ููŠู‡ุง ู€ ุฎุต ู…ู†ู‡ุง ู…ุง ู‡ูˆ ุงู„ู…ู‚ุตูˆุฏ ุจุงู„ุญุฏ ูˆู‡ูˆ ุงู„ู‚ุณู… ุงู„ู…ุฎุชุฑุน ุฃูŠ ุทุฑูŠู‚ุฉ ุงุจุชุฏุนุช ุนู„ู‰ ุบูŠุฑ ู…ุซุงู„ ุชู‚ุฏู…ู‡ุง ู…ู† ุงู„ุดุงุฑุน ุฅุฐ ุงู„ุจุฏุนุฉ ุฅู†ู…ุง ุฎุงุตุชู‡ุง ุฃู†ู‡ุง ุฎุงุฑุฌุฉ ุนู…ุง ุฑุณู…ู‡ ุงู„ุดุงุฑุน ูˆุจู‡ุฐุง ุงู„ู‚ูŠุฏ ุงู†ูุตู„ุช ุนู† ูƒู„ ู…ุง ุธู‡ุฑ ู„ุจุงุฏูŠ ุงู„ุฑุฃูŠ ุฃู†ู‡ ู…ุฎุชุฑุน ู…ู…ุง ู‡ูˆ ู…ุชุนู„ู‚ ุจุงู„ุฏูŠู† ูƒุนู„ู… ุงู„ู†ุญูˆ ูˆุงู„ุชุตุฑูŠู ูˆู…ูุฑุฏุงุช ุงู„ู„ุบุฉ ูˆุฃุตูˆู„ ุงู„ูู‚ู‡ ูˆุฃุตูˆู„ ุงู„ุฏูŠู† ูˆุณุงุฆุฑ ุงู„ุนู„ูˆู… ุงู„ุฎุงุฏู…ุฉ ู„ู„ุดุฑูŠุนุฉ ูุฅู†ู‡ุง ูˆุฅู† ู„ู… ุชูˆุฌุฏ ููŠ ุงู„ุฒู…ุงู† ุงู„ุฃูˆู„ ูุฃุตูˆู„ู‡ุง ู…ูˆุฌูˆุฏุฉ ููŠ ุงู„ุดุฑุน ุฅุฐ ุงู„ุฃู…ุฑ ุจุฅุนุฑุงุจ ุงู„ู‚ุฑุขู† ู…ู†ู‚ูˆู„ ูˆุนู„ูˆู… ุงู„ู„ุณุงู† ู‡ุงุฏูŠุฉ ู„ู„ุตูˆุงุจ ููŠ ุงู„ูƒุชุงุจ ูˆุงู„ุณู†ุฉ ูุญู‚ูŠู‚ุชู‡ุง ุฅุฐุง ุฃู†ู‡ุง ูู‚ู‡ ุงู„ุชุนุจุฏ ุจุงู„ุฃู„ูุงุธ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ุงู„ุฏุงู„ุฉ ุนู„ู‰ ู…ุนุงู†ูŠู‡ุง ูƒูŠู ุชุคุฎุฐ ูˆุชุคุฏูŠ
[24] Ibid.
ูˆุฃุตูˆู„ ุงู„ูู‚ู‡ ุฅู†ู…ุง ู…ุนู†ุงู‡ุง ุงุณุชู‚ุฑุงุก ูƒู„ูŠุงุช ุงู„ุฃุฏู„ุฉ ุญุชู‰ ุชูƒูˆู† ุนู†ุฏ ุงู„ู…ุฌุชู‡ุฏ ู†ุตุจ ุนูŠู† ูˆุนู†ุฏ ุงู„ุทุงู„ุจ ุณู‡ู„ุฉ ุงู„ู…ู„ุชู…ุณ
ูˆูƒุฐู„ูƒ ุฃุตูˆู„ ุงู„ุฏูŠู† ูˆู‡ูˆ ุนู„ู… ุงู„ูƒู„ุงู… ุฅู†ู…ุง ุญุงุตู„ู‡ ุชู‚ุฑูŠุฑ ู„ุฃุฏู„ุฉ ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆุงู„ุณู†ุฉ ุฃูˆ ู…ุง ูŠู†ุดุฃ ุนู†ู‡ุง ููŠ ุงู„ุชูˆุญูŠุฏ ูˆู…ุง ูŠุชุนู„ู‚ ุจู‡ ูƒู…ุง ูƒุงู† ุงู„ูู‚ู‡ ุชู‚ุฑูŠุฑุง ู„ุฃุฏู„ุชู‡ุง ููŠ ุงู„ูุฑูˆุน ุงู„ุนุจุงุฏูŠุฉ
( ูุฅู† ู‚ูŠู„ ) : ูุฅู† ุชุตู†ูŠูู‡ุง ุนู„ู‰ ุฐู„ูƒ ุงู„ูˆุฌู‡ ู…ุฎุชุฑุน
( ูุงู„ุฌูˆุงุจ ) : ุฃู† ู„ู‡ ุฃุตู„ุง ููŠ ุงู„ุดุฑุน ูููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ู…ุง ูŠุฏู„ ุนู„ูŠู‡ ูˆู„ูˆ ุณู„ู… ุฃู†ู‡ ู„ูŠุณ ููŠ ุฐู„ูƒ ุฏู„ูŠู„ ุนู„ู‰ ุงู„ุฎุตูˆุต ูุงู„ุดุฑุน ุจุฌู…ู„ุชู‡ ูŠุฏู„ ุนู„ู‰ ุงุนุชุจุงุฑู‡ ูˆู‡ูˆ ู…ุณุชู…ุฏ ู…ู† ู‚ุงุนุฏุฉ ุงู„ู…ุตุงู„ุญ ุงู„ู…ุฑุณู„ุฉ ูˆุณูŠุฃุชูŠ ุจุณุทู‡ุง ุจุญูˆู„ ุงู„ู„ู‡
[25] Ibid.
ูุนู„ู‰ ุงู„ู‚ูˆู„ ุจุฅุซุจุงุชู‡ุง ุฃุตู„ุง ุดุฑุนูŠุง ู„ุง ุฅุดูƒุงู„ ููŠ ุฃู† ูƒู„ ุนู„ู… ุฎุงุฏู… ู„ู„ุดุฑูŠุนุฉ ุฏุงุฎู„ ุชุญุช ุฃุฏู„ุชู‡ ุงู„ุชูŠ ู„ูŠุณุช ุจู…ุฃุฎูˆุฐุฉ ู…ู† ุฌุฒุฆูŠ ูˆุงุญุฏ ูู„ูŠุณุช ุจุจุฏุนุฉ ุงู„ุจุชุฉ
ูˆุนู„ู‰ ุงู„ู‚ูˆู„ ุจู†ููŠู‡ุง ู„ุง ุจุฏ ุฃู† ุชูƒูˆู† ุชู„ูƒ ุงู„ุนู„ูˆู… ู…ุจุชุฏุนุงุช ุฅุฐุง ุฏุฎู„ุช ููŠ ุนู„ู… ุงู„ุจุฏุน ูƒุงู†ุช ู‚ุจูŠุญุฉ ู„ุฃู† ูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ู…ู† ุบูŠุฑ ุฅุดูƒุงู„ ูƒู…ุง ูŠุฃุชูŠ ุจูŠุงู†ู‡ ุฅู† ุดุงุก ุงู„ู„ู‡
[26] Ibid.
ูˆูŠู„ุฒู… ู…ู† ุฐู„ูƒ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ูƒุชุจ ุง ู„ู…ุตุญู ูˆุฌู…ุน ุงู„ู‚ุฑุขู† ู‚ุจูŠุญุง ูˆู‡ูˆ ุจุงุทู„ ุจุงู„ุฅุฌู…ุงุน ูู„ูŠุณ ุฅุฐุง ุจุจุฏุนุฉ ......
[27] Ibid.
ูุนู„ู‰ ู‡ุฐุง ู„ุง ูŠู†ุจุบูŠ ุฃู† ูŠุณู…ู‰ ุนู„ู… ุงู„ู†ุญูˆ ุฃูˆ ุบูŠุฑู‡ ู…ู† ุนู„ูˆู… ุงู„ู„ุณุงู† ุฃูˆ ุนู„ู… ุงู„ุฃุตูˆู„ ุฃูˆ ู…ุง ุฃุดุจู‡ ุฐู„ูƒ ู…ู† ุงู„ุนู„ูˆู… ุงู„ุฎุงุฏู…ุฉ ู„ู„ุดุฑูŠุนุฉ ุจุฏุนุฉ ุฃุตู„ุง ูˆู…ู† ุณู…ุงู‡ ุจุฏุนุฉ ูุฅู…ุง ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุฌุงุฒ ูƒู…ุง ุณู…ู‰ ุนู…ุฑ ุจู† ุงู„ุฎุทุงุจ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ู‚ูŠุงู… ุงู„ู†ุงุณ ููŠ ู„ูŠุงู„ูŠ ุฑู…ุถุงู† ุจุฏุนุฉ ูˆุฅู…ุง ุฌู‡ู„ุง ุจู…ูˆุงู‚ุน ุงู„ุณู†ุฉ ูˆุงู„ุจุฏุนุฉ ูู„ุง ูŠูƒูˆู† ู‚ูˆู„ ู…ู† ู‚ุงู„ ุฐู„ูƒ ู…ุนุชุฏุง ุจู‡ ูˆู„ุง ู…ุนุชู…ุฏุง ุนู„ูŠู‡
[28] Ibid.
ูˆู‚ูˆู„ู‡ ููŠ ุงู„ุญุฏ ุชุถุงู‡ูŠ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ูŠุนู†ูŠ ุฃู†ู‡ุง ุชุดุงุจู‡ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ุงู„ุดุฑุนูŠุฉ ู…ู† ุบูŠุฑ ุฃู† ุชูƒูˆู† ููŠ ุงู„ุญู‚ูŠู‚ุฉ ูƒุฐู„ูƒ ุจู„ ู‡ูŠ ู…ุถุงุฏุฉ ู„ู‡ุง ู…ู† ุฃูˆุฌู‡ ู…ุชุนุฏุฏุฉ
ู…ู†ู‡ุง : ูˆุถุน ุงู„ุญุฏูˆุฏ ูƒุงู„ู†ุงุฐุฑ ู„ู„ุตูŠุงู… ู‚ุงุฆู…ุง ู„ุง ูŠู‚ุนุฏ ุถุงุญูŠุง ู„ุง ูŠุณุชุธู„ ูˆุงู„ุงุฎุชุตุงุต ููŠ ุงู„ุงู†ู‚ุทุงุน ู„ู„ุนุจุงุฏุฉ ูˆุงู„ุงู‚ุชุตุงุฑ ู…ู† ุงู„ู…ุฃูƒู„ ูˆุงู„ู…ู„ุจุณ ุนู„ู‰ ุตู†ู ุฏูˆู† ุตู†ู ู…ู† ุบูŠุฑ ุนู„ุฉ
ูˆู…ู†ู‡ุง : ุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ูƒูŠููŠุงุช ูˆุงู„ู‡ูŠุฆุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ ูƒุงู„ุฐูƒุฑ ุจู‡ูŠุฆุฉ ุงู„ุงุฌุชู…ุงุน ุนู„ู‰ ุตูˆุช ูˆุงุญุฏ ูˆุงุชุฎุงุฐ ูŠูˆู… ูˆู„ุงุฏุฉ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนูŠุฏุง ูˆู…ุง ุฃุดุจู‡ ุฐู„ูƒ
ูˆู…ู†ู‡ุง : ุงู„ุชุฒุงู… ุงู„ุนุจุงุฏุงุช ุงู„ู…ุนูŠู†ุฉ ููŠ ุฃูˆู‚ุงุช ู…ุนูŠู†ุฉ ู„ู… ูŠูˆุฌุฏ ู„ู‡ุง ุฐู„ูƒ ุงู„ุชุนูŠูŠู† ููŠ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูƒุงู„ุชุฒุงู… ุตูŠุงู… ูŠุฑู… ุงู„ู†ุตู ู…ู† ุดุนุจุงู† ูˆู‚ูŠุงู… ู„ูŠู„ุชู‡
[29] Ibid.
ูˆุซู… ุฃูˆุฌู‡ ุชุถุงู‡ูŠ ุจู‡ุง ุงู„ุจุฏุนุฉ ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ุงู„ู…ุดุฑูˆุนุฉ ูู„ูˆ ูƒุงู†ุช ู„ุง ุชุถุงู‡ูŠ ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ุงู„ู…ุดุฑูˆุนุฉ ู„ู… ุชูƒู† ุจุฏุนุฉ ู€ ู„ุฃู†ู‡ุง ุชุตูŠุฑ ู…ู† ุจุงุจ ุงู„ุฃูุนุงู„ ุงู„ุนุงุฏูŠุฉ
[30] ‘Asqalani, Ahmad b. ‘Ali b. Hajar al- (1379H), Fath al-Bari. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi dan Muhibb al-Din al-Khatib (tahqiq). Beirut: Dar al-Ma‘rifah. Juz XIII, halaman 253
....ู…ุง ุฃุญุฏุซ ูˆู„ูŠุณ ู„ู‡ ุฃุตู„ ููŠ ุงู„ุดุฑุน ูˆูŠุณู…ู‰ ููŠ ุนุฑู ุงู„ุดุฑุน ุจุฏุนุฉ ูˆู…ุง ูƒุงู† ู„ู‡ ุฃุตู„ ูŠุฏู„ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุดุฑุน ูู„ูŠุณ ุจุจุฏุนุฉ ูุงู„ุจุฏุนุฉ ููŠ ุนุฑู ุงู„ุดุฑุน ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ ุจุฎู„ุงู ุงู„ู„ุบุฉ ูุงู† ูƒู„ ุดูŠุก ุฃุญุฏุซ ู…ุซุงู„ ูŠุณู…ู‰ ุจุฏุนุฉ ุณูˆุงุก ูƒุงู† ู…ุญู…ูˆุฏุง ุฃูˆ ู…ุฐู…ูˆู…ุง ูˆูƒุฐุง ุงู„ู‚ูˆู„ ููŠ ุงู„ู…ุญุฏุซุฉ
[31] Ibid.
ูˆููŠ ุงู„ุฃู…ุฑ ุงู„ู…ุญุฏุซ ุงู„ุฐูŠ ูˆุฑุฏ ููŠ ุญุฏูŠุซ ุนุงุฆุดุฉ ู…ู† ุฃุญุฏุซ ููŠ ุฃู…ุฑู†ุง ู‡ุฐุง ู…ุง ู„ูŠุณ ู…ู†ู‡ ูู‡ูˆ ุฑุฏ ูƒู…ุง ุชู‚ุฏู… ุดุฑุญู‡ ูˆู…ุถู‰ ุจูŠุงู† ุฐู„ูƒ ู‚ุฑูŠุจุง ููŠ ูƒุชุงุจ ุงู„ุฃุญูƒุงู… ูˆู‚ุฏ ูˆู‚ุน ููŠ ุญุฏูŠุซ ุฌุงุจุฑ ุงู„ู…ุดุงุฑ ุงู„ูŠู‡ ูˆูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ูˆููŠ ุญุฏูŠุซ ุงู„ุนุฑุจุงุถ ุจู† ุณุงุฑูŠุฉ ูˆุฅูŠุงูƒู… ูˆู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ูุงู† ูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ูˆู‡ูˆ ุญุฏูŠุซ ุฃูˆู„ู‡ ูˆุนุธู†ุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู…ูˆุนุธุฉ ุจู„ูŠุบุฉ ูุฐูƒุฑู‡ ูˆููŠู‡ ู‡ุฐุง ุฃุฎุฑุฌู‡ ุงุญู…ุฏ ูˆุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ ูˆุงู„ุชุฑู…ุฐูŠ ูˆุตุญุญู‡ ุจู† ู…ุงุฌุฉ ูˆุงุจู† ุญุจุงู† ูˆุงู„ุญุงูƒู… ูˆู‡ุฐุง ุงู„ุญุฏูŠุซ ููŠ ุงู„ู…ุนู†ู‰ ู‚ุฑูŠุจ ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุนุงุฆุดุฉ ุงู„ู…ุดุงุฑ ุงู„ูŠู‡ ูˆู‡ูˆ ู…ู† ุฌูˆุงู…ุน ุงู„ูƒู„ู… ู‚ุงู„ ุงู„ุดุงูุนูŠ ุงู„ุจุฏุนุฉ ุจุฏุนุชุงู† ู…ุญู…ูˆุฏุฉ ูˆู…ุฐู…ูˆู…ุฉ ูู…ุง ูˆุงูู‚ ุงู„ุณู†ุฉ ูู‡ูˆ ู…ุญู…ูˆุฏ ูˆู…ุง ุฎุงู„ูู‡ุง ูู‡ูˆ ู…ุฐู…ูˆู… ุฃุฎุฑุฌู‡ ุฃุจูˆ ู†ุนูŠู… ุจู…ุนู†ุงู‡ ู…ู† ุทุฑูŠู‚ ุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ุจู† ุงู„ุฌู†ูŠุฏ ุนู† ุงู„ุดุงูุนูŠ ูˆุฌุงุก ุนู† ุงู„ุดุงูุนูŠ ุฃูŠุถุง ู…ุง ุฃุฎุฑุฌู‡ ุงู„ุจูŠู‡ู‚ูŠ ููŠ ู…ู†ุงู‚ุจู‡ ู‚ุงู„ ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช ุถุฑุจุงู† ู…ุง ุฃุญุฏุซ ูŠุฎุงู„ู ูƒุชุงุจุง ุฃูˆ ุณู†ุฉ ุฃูˆ ุฃุซุฑุง ุฃูˆ ุฅุฌู…ุงุนุง ูู‡ุฐู‡ ุจุฏุนุฉ ุงู„ุถู„ุงู„ ูˆู…ุง ุฃุญุฏุซ ู…ู† ุงู„ุฎูŠุฑ ู„ุง ูŠุฎุงู„ู ุดูŠุฆุง ู…ู† ุฐู„ูƒ ูู‡ุฐู‡ ู…ุญุฏุซุฉ ุบูŠุฑ ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ ุงู†ุชู‡ู‰
[32] Lihat. Muhammad bin Bahadir bin Abdillah Az Zarkasyi Abu Abdillah (745 H sd 794) “Al Mantsur” tahqiq: Dr. Taisir Faiq Ahmad Mahmud,1405 H, Kuwait; Cet: 2, Wazaratul Auqaf was suuunil Islamiyah. Juz I, halaman 217-218:
ุญุฑู ุงู„ุจุงุก ุงู„ุจุฏุนุฉ ู‚ุงู„ ุงุจู† ุฏุฑุณุชูˆูŠู‡ ู‡ูŠ ููŠ ุงู„ู„ุบุฉ ุงุญุฏุงุซ ุณู†ุฉ ู„ู… ุชูƒู† ูˆุชูƒูˆู† ููŠ ุงู„ุฎูŠุฑ ูˆุงู„ุดุฑ ูˆู…ู†ู‡ ู‚ูˆู„ู‡ู… ูู„ุงู† ุจุฏุนุฉ ุฅุฐุง ูƒุงู† ู…ุฌุงูˆุฒุง ููŠ ุญุฐู‚ู‡ ูˆุฌุนู„ ู…ู†ู‡ ุงุจู† ูุงุฑุณ ููŠ ุงู„ู…ู‚ุงูŠูŠุณ ู‚ูˆู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ู‚ู„ ู…ุง ูƒู†ุช ุจุฏุนุง ู…ู† ุงู„ุฑุณู„ ุฃูŠ ุฃูˆู„ ูุฃู…ุง ููŠ ุงู„ุดุฑุน ูู…ูˆุถูˆุนู‡ ู„ู„ุญุงุฏุซ ุงู„ู…ุฐู…ูˆู… ูˆุฅุฐุง ุฃุฑูŠุฏ ุงู„ู…ู…ุฏูˆุญ ู‚ูŠุฏุช ูˆูŠูƒูˆู† ุฐู„ูƒ ู…ุฌุงุฒุง ุดุฑุนูŠุง ุญู‚ูŠู‚ุฉ ู„ุบูˆูŠุฉ ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุฅู…ุงู… ุงู„ุดุงูุนูŠ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช ุถุฑุจุงู† ูˆุฅุฐุง ูƒุงู†ุช ู„ูŠุณ ููŠู‡ุง ุฑุฏ ู„ู…ุง ู…ุถู‰ ุงู†ุชู‡ู‰ ูˆุงู†ุธุฑ ูƒูŠู ุชุญุฑุฒ ุงู„ุฅู…ุงู… ุงู„ุดุงูุนูŠ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ููŠ ูƒู„ุงู…ู‡ ุนู† ู„ูุธ ุงู„ุจุฏุนุฉ ูˆู„ู… ูŠุฒุฏ ุนู„ู‰ ู„ูุธ ุงู„ู…ุญุฏุซุฉ ูˆุชุงูˆู„ ู‚ูˆู„ ุนู…ุฑ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุนู„ู‰ ุฐู„ูƒ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ู…ุชูˆู„ูŠ ููŠ ุงู„ุชุชู…ุฉ ููŠ ุจุงุจ ุตู„ุงุฉ ุงู„ุฌู…ุงุนุฉ ุงู„ุจุฏุนุฉ ุงุณู… ู„ูƒู„ ุฒูŠุงุฏุฉ ููŠ ุงู„ุฏูŠู† ุณูˆุงุก ูƒุงู†ุช ุทุงุนุฉ ุฃูˆ ู…ุนุตูŠุฉ ูุงู„ุจุฏุนุฉ ุจุฒูŠุงุฏุฉ ุงู„ุทุงุนุฉ ู…ุซู„ ูƒุซุฑุฉ ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงู„ุตูˆู… ูˆุงู„ุตุฏู‚ุฉ ุณูˆุงุก ูˆุงูู‚ ุงู„ุดุฑุน ุฃู… ู„ุง ุจุฃู† ูŠุชุนุจุฏ ููŠ ูˆู‚ุช ุงู„ูƒุฑุงู‡ุฉ ู‚ุงู„ ูˆุงู„ู…ุชุจุฏุน ุจุงู„ู…ุนุตูŠุฉ ูƒุงู„ุทุนู† ููŠ ุงู„ุตุญุงุจุฉ ุฃูˆ ุจู‡ ุฎู„ู„ ููŠ ุงู„ุนู‚ูŠุฏุฉ ูุฅู† ูƒุงู† ู„ุง ูŠูƒูุฑ ุจู‡ุง ูุญูƒู…ู‡ ุญูƒู… ุงู„ูุงุณู‚ ูˆุฅู„ุง ูู‡ูˆ ูƒุงูุฑ ู‚ุงู„ ูˆู‡ู„ ูŠู‚ุทุน ุจุฃู†ู‡ ู…ู† ุฃู‡ู„ ุงู„ู†ุงุฑ ุธุงู‡ุฑ ุงู„ู…ุฐู‡ุจ ูˆุนู„ูŠู‡ ูŠุฏู„ ูƒู„ุงู… ุงู„ุดุงูุนูŠ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุฃู†ู‡ ู…ู† ุฌู…ู„ุฉ ุงู„ุนุงุตูŠู† ูˆุญุงู„ู‡ ููŠ ุงู„ู…ุดูŠุฆุฉ ูƒุญุงู„ ุณุงุฆุฑ ุงู„ุนุตุงุฉ ูˆู…ู† ุฃุตุญุงุจู†ุง ู…ู† ู‚ุทุน ุจุฃู†ู‡ ู…ู† ุฃู‡ู„ ุงู„ู†ุงุฑ ู„ู‚ูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูƒู„ ูƒุฐุจ ุถู„ุงู„ุฉ ูˆูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ูˆูƒู„ ุถู„ุงู„ุฉ ููŠ ุงู„ู†ุงุฑ
[33] Lihat. Syatibi, Ibrahim bin Musa al Lakhmi (w. 790) “al-Muwafaqat Fi Usul alSyariah”, muhaqqiq: Abdullah Darraz, Beirut: Dar al Ma’rifah. Juz II, halaman 340-42:
...ูุฅู† ู‚ูŠู„ ุฅู† ุงู„ุนู„ู…ุงุก ู‚ุฏ ู‚ุณู…ูˆุง ุงู„ุจุฏุน ุจุฃู‚ุณุงู… ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูˆุงู„ู…ุฐู…ูˆู… ู…ู†ู‡ุง ุจุฅุทู„ุงู‚ ู‡ูˆ ุงู„ู…ุญุฑู… ูˆุฃู…ุง ุงู„ู…ูƒุฑูˆู‡ ูู‡ูˆ ุงู„ุฐู… ููŠู‡ ุจุฅุทู„ุงู‚ ูˆู…ุง ุนุฏุง ู‚ุจูŠุญ ุดุฑุนุง ูุงู„ูˆุงุฌุจ ู…ู†ู‡ุง ูˆุงู„ู…ู†ุฏูˆุจ ุญุณู† ุจุฅุทู„ุงู‚ ูˆู…ู…ุฏูˆุญ ูุงุนู„ู‡ ูˆู…ุณุชู†ุจุทู‡ ูˆุงู„ู…ุจุงุญ ุญุณู† ุจุงุนุชุจุงุฑ ูุนู„ู‰ ุงู„ุฌู…ู„ุฉ ู…ู† ุงุณุชุญุณู† ู…ู† ุงู„ุจุฏุน ู…ุง ุงุณุชุญุณู†ู‡ ุงู„ุฃูˆู„ูˆู† ู„ุง ูŠู‚ูˆู„ ุฅู†ู‡ุง ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ ูˆู„ุง ู…ุฎุงู„ูุฉ ู„ู‚ุตุฏ ุงู„ุดุงุฑุน ุจู„ ู‡ูŠ ู…ูˆุงูู‚ุฉ ุฃูŠ ู…ูˆุงูู‚ุฉ ูƒุฌู…ุน ุงู„ู†ุงุณ ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุตุญู ุงู„ุนุซู…ุงู†ูŠ ูˆุงู„ุชุฌู…ูŠุน ูู‰ ู‚ูŠุงู… ุฑู…ุถุงู† ูู‰ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ูˆุบูŠุฑ ุฐู„ูƒ ู…ู† ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุญุณู†ุฉ ุงู„ุชูŠ ุงุชูู‚ ุงู„ู†ุงุณ ุนู„ู‰ ุญุณู†ู‡ุง ุฃุนู†ูŠ ุงู„ุณู„ู ุงู„ุตุงู„ุญ ูˆุงู„ู…ุฌุชู‡ุฏูŠู† ู…ู† ุงู„ุฃู…ุฉ ูˆู…ุง ุฑุขู‡ ุงู„ู…ุณู„ู…ูˆู† ุญุณู†ุง ูู‡ูˆ ุซู… ุงู„ู„ู‡ ุญุณู† ูุฌู…ูŠุน ู‡ุฐู‡ ุงู„ุฃุดูŠุงุก ุฏุงุฎู„ู‡ ุชุญุช ุชุฑุฌู…ุฉ ุงู„ู…ุณุฃู„ุฉ ุฅุฐ ู‡ูŠ ุฃูุนุงู„ ู…ุฎุงู„ูุฉ ู„ู„ุดุงุฑุน ู„ุฃู†ู‡ ู„ู… ูŠุถุนู‡ุง ู…ู‚ุชุฑู†ุฉ ุจู‚ุตุฏ ู…ูˆุงูู‚ ู„ุฃู†ู‡ู… ู„ู… ูŠู‚ุตุฏูˆุง ุฅู„ุง ุงู„ุตู„ุงุญ ูˆุฅุฐุง ูƒุงู† ูƒุฐู„ูƒ ูˆุฌุจ ุฃู† ู„ุง ุชูƒูˆู† ุงู„ุจุฏุน ูƒู„ู‡ุง ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ ุฎู„ุงู ุงู„ู…ุฏุนู‰ ูุงู„ุฌูˆุงุจ ุฃู† ู‡ุฐุง ูƒู„ู‡ ู„ูŠุณ ู…ู…ุง ูˆู‚ุนุช ุงู„ุชุฑุฌู…ุฉ ุนู„ูŠู‡ ูุฅู† ุงู„ูุฑุถ ุฃู† ุงู„ูุนู„ ู…ุฎุงู„ู ู„ู„ูุนู„ ุงู„ุฐูŠ ูˆุถุนู‡ ุงู„ุดุงุฑุน ูˆู…ุง ุฃุญุฏุซู‡ ุงู„ุณู„ู ูˆุฃุฌู…ุน ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุนู„ู…ุงุก ู„ู… ูŠู‚ุน ููŠู‡ ู…ุฎุงู„ูุฉ ู„ู…ุง ูˆุถุนู‡ ุงู„ุดุงุฑุน ุจุญุงู„ ุจูŠุงู† ุฐู„ูƒ ุฃู† ุฌู…ุน ุงู„ู…ุตุญู ู…ุซู„ุง ู„ู… ูŠูƒู† ููŠ ุฒู…ุงู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู„ู„ุงุณุชุบู†ุงุก ุนู†ู‡ ุจุงู„ุญูุธ ููŠ ุงู„ุตุฏูˆุฑ ูˆู„ุฃู†ู‡ ู„ู… ูŠู‚ุน ููŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ุงุฎุชู„ุงู ูŠุฎุงู ุจุณุจุจู‡ ุงู„ุงุฎุชู„ุงู ููŠ ุงู„ุฏูŠู† ูˆุฅู†ู…ุง ูˆู‚ุนุช ููŠู‡ ู†ุงุฒู„ุชุงู† ุฃูˆ ุซู„ุงุซุฉ ูƒุญุฏูŠุซ ุนู…ุฑ ุจู† ุงู„ุฎุทุงุจ ู…ุน ู‡ุดุงู… ุจู† ุญูƒูŠู… ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ู…ุง ูˆู‚ุตุฉ ุฃุจูŠ ุจู† ูƒุนุจ ู…ุน ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ู…ุณุนูˆุฏ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ู…ุง ูˆููŠู‡ ู‚ุงู„ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงู„ุณู„ุงู… ู„ุง ุชู…ุงุฑูˆุง ููŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ูุฅู† ุงู„ู…ุฑุขุก ููŠู‡ ูƒูุฑ ูุญุงุตู„ ุงู„ุฃู…ุฑ ุฃู† ุฌู…ุน ุงู„ู…ุตุญู ูƒุงู† ู…ุณูƒูˆุชุง ุนู†ู‡ ููŠ ุฒู…ุงู†ู‡ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงู„ุณู„ุงู… ุซู… ู„ู…ุง ูˆู‚ุน ุงู„ุงุฎุชู„ุงู ููŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆูƒุซุฑ ุญุชู‰ ุตุงุฑ ุฃุญุฏู‡ู… ูŠู‚ูˆู„ ู„ุตุงุญุจู‡ ุฃู†ุง ูƒุงูุฑ ุจู…ุง ุชู‚ุฑุฃ ุจู‡ ุตุงุฑ ุฌู…ุน ุงู„ู…ุตุญู ูˆุงุฌุจุง ูˆุฑุฃูŠุง ุฑุดูŠุฏุง ููŠ ูˆุงู‚ุนุฉ ู„ู… ูŠุชู‚ุฏู… ุจู‡ุง ุนู‡ุฏ ูู„ู… ูŠูƒู† ููŠู‡ุง ู…ุฎุงู„ูุฉ ูˆุฅู„ุง ู„ุฒู… ุฃู† ูŠูƒูˆู† ุงู„ู†ุธุฑ ููŠ ูƒู„ ูˆุงู‚ุนุฉ ู„ู… ุชุญุฏุซ ููŠ ุงู„ุฒู…ุงู† ุงู„ู…ุชู‚ุฏู… ุจุฏุนุฉ ูˆู‡ูˆ ุจุงุทู„ ุจุงุชูุงู‚ ู„ูƒู† ู…ุซู„ ู‡ุฐุง ุงู„ู†ุธุฑ ู…ู† ุจุงุจ ุงู„ุงุฌุชู‡ุงุฏ ุงู„ู…ู„ุงุฆู… ู„ู‚ูˆุงุนุฏ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูˆุฅู† ู„ู… ูŠุดู‡ุฏ ู„ู‡ ุฃุตู„ ู…ุนูŠู† ูˆู‡ูˆ ุงู„ุฐูŠ ูŠุณู…ู‰ ุงู„ู…ุตุงู„ุญ ุงู„ู…ุฑุณู„ุฉ ูˆูƒู„ ู…ุง ุฃุญุฏุซู‡ ุงู„ุณู„ู ุงู„ุตุงู„ุญ ู…ู† ู‡ุฐุง ุงู„ู‚ุจูŠู„ ู„ุง ูŠุชุฎู„ู ุนู†ู‡ ุจูˆุฌู‡ ูˆู„ูŠุณ ู…ู† ุงู„ู…ุฎุงู„ู ู„ู…ู‚ุตุฏ ุงู„ุดุงุฑุน ุฃุตู„ุง
[34] Abi Muhammad ‘Izzuddin Abdil Aziz bin Abdissalam As Sulami (w.660 H) “Qawa’idul Ahkam Fii Mashalihil ‘Anam”, t.t.h, Beirut: Darul Ma’rifah, juz II, halaman 172-173:
ูุตู„ ููŠ ุงู„ุจุฏุน ุงู„ุจุฏุนุฉ ูุนู„ ู…ุง ู„ู… ูŠุนู‡ุฏ ููŠ ุนุตุฑ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูˆู‡ูŠ ู…ู†ู‚ุณู…ุฉ ุฅู„ู‰ ุจุฏุนุฉ ูˆุงุฌุจุฉ ูˆุจุฏุนุฉ ู…ู†ุฏูˆุจุฉ ูˆุจุฏุนุฉ ู…ูƒุฑูˆู‡ุฉ ูˆุจุฏุนุฉ ู…ุจุงุญุฉ ูˆุงู„ุทุฑูŠู‚ ููŠ ู…ุนุฑูุฉ ุฐู„ูƒ ุฃู† ุชุนุฑุถ ุงู„ุจุฏุนุฉ ุนู„ู‰ ู‚ูˆุงุนุฏ ุงู„ุดุฑูŠุนุฉ ูุฅู† ุฏุฎู„ุช ููŠ ู‚ูˆุงุนุฏ ุงู„ุงูŠุฌุงุจ ูู‡ูŠ ูˆุงุฌุจุฉ ูˆุงู† ุฏุฎู„ุช ููŠ ู‚ูˆุงุนุฏ ุงู„ุชุญุฑูŠู… ูˆุงู† ุฏุฎู„ุช ููŠ ู‚ูˆุงุนุฏ ุงู„ู…ู†ุฏูˆุจ ูู‡ูŠ ู…ู†ุฏูˆุจุฉ ูˆุงู† ุฏุฎู„ุช ููŠ ู‚ูˆุงุนุฏ ุงู„ู…ุจุงุญ ูู‡ูŠ ู…ุจุงุญุฉ
[35] An Nawawi, Abu Zakarya Muhyiddin (631 H – 676 H), “Syarhu An Nawawi ‘ala Shaheh Muslim”, cet: III, 1292, Beirut: Daar Ihyaa al Turats al ‘Arabi, Juz VII, halaman 104-105.
ุดุฑุญ ุงู„ู†ูˆูˆูŠ ุนู„ู‰ ุตุญูŠุญ ู…ุณู„ู… ุฌ: 7 ุต: 104- 105
ู‚ูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูƒู„ ู…ุญุฏุซุฉ ุจุฏุนุฉ ูˆูƒู„ ุจุฏุนุฉ ุถู„ุงู„ุฉ ูˆุฃู† ุงู„ู…ุฑุงุฏ ุจู‡ ุงู„ู…ุญุฏุซุงุช ุงู„ุจุงุทู„ุฉ ูˆุงู„ุจุฏุน ุงู„ู…ุฐู…ูˆู…ุฉ ูˆู‚ุฏ ุณุจู‚ ุจูŠุงู† ู‡ุฐุง ููŠ ูƒุชุงุจ ุตู„ุงุฉ ุงู„ุฌู…ุนุฉ ูˆุฐูƒุฑู†ุง ู‡ู†ุงูƒ ุฃู† ุงู„ุจุฏุน ุฎู…ุณุฉ ุฃู‚ุณุงู… ูˆุงุฌุจุฉ ูˆู…ู†ุฏูˆุจุฉ ูˆู…ุญุฑู…ุฉ ูˆู…ูƒุฑูˆู‡ุฉ ูˆู…ุจุงุญุฉ
[36]Ibnu Manzur, “Lisan al ‘Arab” Op. Cit. Juz XIII, halaman 220:
ูˆู‚ุฏ ุชูƒุฑุฑ ููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฐูƒุฑ ุงู„ุณُّู†َّุฉ ูˆู…ุง ุชุตุฑู ู…ู†ู‡ุง ูˆุงู„ุฃَุตู„ ููŠู‡ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุณِّูŠุฑَุฉ ูˆุฅุฐุง ุฃُุทْู„ِู‚َุช ููŠ ุงู„ุดุฑุน ูุฅِู†ู…ุง ูŠุฑุงุฏ ุจู‡ุง ู…ุง ุฃَู…َุฑَ ุจู‡ ุงู„ู†ุจูŠُّ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูˆู†َู‡ู‰ ุนู†ู‡ ูˆู†َุฏَุจ ุฅู„ูŠู‡ ู‚ูˆู„ุงً ูˆูุนู„ุงً ู…ู…ุง ู„ู… ูŠَู†ْุทู‚ ุจู‡ ุงู„ูƒุชุงุจُ ุงู„ุนุฒูŠุฒ ูˆู„ู‡ุฐุง ูŠู‚ุงู„ ููŠ ุฃَุฏู„ุฉ ุงู„ุดุฑุน ุงู„ูƒุชุงุจُ ูˆุงู„ุณُّู†َّุฉُ ุฃَูŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆุงู„ุญุฏูŠุซ ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฅِู†ู…ุง ุฃُู†َุณَّู‰ ู„ุฃِุณُู†َّ ุฃَูŠ ุฅู†ู…ุง ุฃُุฏْูَุนُ ุฅู„ู‰ ุงู„ู†ِّุณْูŠุงู†ُ ู„ุฃَุณُูˆู‚َ ุงู„ู†ุงุณَ ุจุงู„ู‡ุฏุงูŠุฉ ุฅู„ู‰ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ุงู„ู…ุณุชู‚ูŠู… ูˆุฃُุจَูŠِّู†َ ู„ู‡ู… ู…ุง ูŠุญุชุงุฌูˆู† ุฃَู† ูŠูุนู„ูˆุง ุฅุฐุง ุนَุฑَุถَ ู„ู‡ู… ุงู„ู†ุณูŠุงู†ُ ู‚ุงู„ ูˆูŠุฌูˆุฒ ุฃَู† ูŠูƒูˆู† ู…ู† ุณَู†َู†ْุชُ ุงู„ุฅِุจู„َ ุฅุฐุง ุฃَุญْุณู†ุช ุฑِุนْูŠุชَู‡ุง ูˆุงู„ู‚ูŠุงู… ุนู„ูŠู‡ุง ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฃَู†ู‡ ู†ุฒู„ ุงู„ู…ُุญَุตَّุจَ ูˆู„ู… ูŠَุณُู†َّู‡ُ ุฃَูŠ ู„ู… ูŠุฌุนู„ู‡ ุณُู†َّุฉ ูŠุนู…ู„ ุจู‡ุง ู‚ุงู„ ูˆู‚ุฏ ูŠَูْุนู„ ุงู„ุดูŠุก ู„ุณุจุจ ุฎุงุต ูู„ุง ูŠุนู…ّ ุบูŠุฑู‡ ูˆู‚ุฏ ูŠَูْุนู„ ู„ู…ุนู†ู‰ ููŠุฒูˆู„ ุฐู„ูƒ ุงู„ู…ุนู†ู‰ ูˆูŠุจู‚ู‰ ุงู„ูุนู„ ุนู„ู‰ ุญุงู„ู‡ ู…ُุชَّุจَุนุงً ูƒู‚َุตْุฑِ ุงู„ุตู„ุงุฉ ููŠ ุงู„ุณูุฑ ู„ู„ุฎูˆู ุซู… ุงุณุชู…ุฑّ ุงู„ู‚ุตุฑ ู…ุน ุนุฏู… ุงู„ุฎูˆู ูˆู…ู†ู‡ ุญุฏูŠุซ ุงุจู† ุนุจุงุณ ุฑَู…َู„َ ุฑุณูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูˆู„ูŠุณ ุจุณُู†َّุฉ ุฃَูŠ ุฃَู†ู‡ ู„ู… ูŠَุณُู†َّ ูِุนْู„َู‡ ู„ูƒุงูุฉ ุงู„ุฃُู…ّุฉ ูˆู„ูƒู† ู„ุณุจุจ ุฎุงุต ูˆู‡ูˆ ุฃَู† ูŠُุฑِูŠَ ุงู„ู…ุดุฑูƒูŠู† ู‚ูˆّุฉ ุฃَุตุญุงุจู‡ ูˆู‡ุฐุง ู…ุฐู‡ุจ ุงุจู† ุนุจุงุณ ูˆุบูŠุฑู‡ ูŠุฑู‰ ุฃَู† ุงู„ุฑَّู…َู„َ ููŠ ุทูˆุงู ุงู„ู‚ุฏูˆู… ุณู†َّุฉ ูˆููŠ ุญุฏูŠุซ ู…ُุญَู„ِّู…ِ ุงุจู† ุฌَุซَّุงู…ุฉ ุงุณْู†ُู†ِ ุงู„ูŠูˆู…َ ูˆุบَูŠِّุฑْ ุบุฏุงً ุฃَูŠ ุงุนْู…َู„ْ ุจุณُู†َّุชูƒ ุงู„ุชูŠ ุณَู†َู†ْุชู‡ุง ููŠ ุงู„ู‚ِุตุงุตِ ุซู… ุจุนุฏ ุฐู„ูƒ ุฅุฐุง ุดุฆุช ุฃَู† ุชุบูŠุฑ ูุบูŠุฑ ุฃَูŠ ุชุบูŠุฑ ู…ุง ุณَู†ู†ْุชَ ูˆู‚ูŠู„ ุชُุบَูŠِّุฑ ู…ู† ุฃَุฎุฐ ุงู„ุบِูŠَุฑ ูˆู‡ูŠ ุงู„ุฏูŠุฉ ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฅู† ุฃَูƒุจุฑ ุงู„ูƒุจุงุฆุฑ ุฃَู† ุชُู‚ุงุชู„ ุฃَู‡ู„ ุตَูْู‚َุชِูƒ ูˆุชُุจَุฏِّู„َ ุณُู†َّุชَูƒ ุฃَุฑุงุฏ ุจุชุจุฏูŠู„ ุงู„ุณُّู†ุฉ ุฃَู† ูŠุฑุฌุน ุฃَุนุฑุงุจูŠّุงً ุจุนุฏ ู‡ุฌุฑุชู‡ ูˆููŠ ุญุฏูŠุซ ุงู„ู…ุฌูˆุณ ุณُู†ُّูˆุง ุจู‡ู… ุณُู†َّุฉ ุฃَู‡ู„ ุงู„ูƒุชุงุจ ุฃَูŠ ุฎุฐูˆู‡ู… ุนู„ู‰ ุทุฑูŠู‚ุชู‡ู… ูˆุฃَุฌْุฑُูˆู‡ู… ููŠ ู‚ุจูˆู„ ุงู„ุฌุฒูŠุฉ ู…ُุฌْุฑุงู‡ู… ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ู„ุง ูŠُู†ْู‚َุถُ ุนَู‡ْุฏُู‡ู… ุนู† ุณُู†َّุฉِ ู…ุงุญِู„ٍ ุฃَูŠ ู„ุง ูŠู†ู‚ุถ ุจุณَุนْูŠِ ุณุงุน ุจุงู„ู†ู…ูŠู…ุฉ ูˆุงู„ุฅِูุณุงุฏ ูƒู…ุง ูŠู‚ุงู„ ู„ุง ุฃُูْุณِุฏُ ู…ุง ุจูŠู†ูŠ ูˆุจูŠู†ูƒ ุจู…ุฐุงู‡ุจ ุงู„ุฃَุดุฑุงุฑ ูˆุทُุฑُู‚ู‡ู… ููŠ ุงู„ูุณุงุฏ ูˆุงู„ุณُّู†َّุฉ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูˆุงู„ุณَّู†ู† ุฃَูŠุถุงً ูˆููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฃَู„ุง ุฑุฌู„ٌ ูŠَุฑُุฏُّ ุนَู†َّุง ู…ู† ุณَู†َู†ِ ู‡ุคู„ุงุก ุงู„ุชู‡ุฐูŠุจ ุงู„ุณُّู†َّุฉُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ุงู„ู…ุญู…ูˆุฏุฉ ุงู„ู…ุณุชู‚ูŠู…ุฉ ูˆู„ุฐู„ูƒ ู‚ูŠู„ ูู„ุงู† ู…ู† ุฃَู‡ู„ ุงู„ุณُّู†َّุฉ ู…ุนู†ุงู‡ ู…ู† ุฃَู‡ู„ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ุงู„ู…ุณุชู‚ูŠู…ุฉ ุงู„ู…ุญู…ูˆุฏุฉ ูˆู‡ูŠ ู…ุฃْุฎูˆุฐุฉ ู…ู† ุงู„ุณَّู†َู†ِ ูˆู‡ูˆ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆูŠู‚ุงู„ ู„ู„ุฎَุทّ ุงู„ุฃَุณูˆุฏ ุนู„ู‰ ู…َุชْู†ِ ุงู„ุญู…ุงุฑ ุณُู†َّุฉ ูˆุงู„ุณُّู†َّุฉ ุงู„ุทุจูŠุนุฉ ูˆุจู‡ ูุณุฑ ุจุนุถู‡ู… ู‚ูˆู„ ุงู„ุฃَุนุดู‰ ูƒَุฑِูŠู…ٌ ุดَู…َุงุฆِู„ُู‡ ู…ู† ุจَู†ِูŠ ู…ُุนุงูˆูŠุฉَ ุงู„ุฃَูƒْุฑَู…ูŠู†َ ุงู„ุณُّู†َู†ْ ูˆุงู…ْุถِ ุนู„ู‰ ุณَู†َู†ِูƒ ุฃَูŠ ูˆَุฌْู‡ูƒ ูˆู‚َุตْุฏูƒ ูˆู„ู„ุทุฑูŠู‚ ุณَู†َู†ٌ ุฃَูŠุถุงً ูˆุณَู†َู†ُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุณُู†َู†ُู‡ ูˆุณِู†َู†ُู‡ ูˆุณُู†ُู†ُู‡ ู†َู‡ْุฌُู‡ ูŠู‚ุงู„ ุฎَุฏَุนَูƒ ุณَู†َู†ُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุณُู†َّุชُู‡ ูˆุงู„ุณُّู†َّุฉ ุฃَูŠุถุงً ุณُู†َّุฉ ุงู„ูˆุฌู‡ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ู„ุญูŠุงู†ูŠ ุชَุฑَูƒ ูู„ุงู†ٌ ู„ูƒ ุณَู†َู†َ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุณُู†َู†َู‡ ูˆุณِู†َู†َู‡ ุฃَูŠ ุฌِู‡َุชَู‡ ู‚ุงู„ ุงุจู† ุณูŠุฏู‡ ูˆู„ุง ุฃَุนุฑู ุณِู†َู†ุงً ุนู† ุบูŠุฑ ุงู„ู„ุญูŠุงู†ูŠ ุดู…ุฑ ุงู„ุณُّู†َّุฉ ููŠ ุงู„ุฃَุตู„ ุณُู†َّุฉ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆู‡ูˆ ุทุฑูŠู‚ ุณَู†َّู‡ ุฃَูˆุงุฆู„ ุงู„ู†ุงุณ ูุตุงุฑَ ู…َุณْู„َูƒุงً ู„ู…ู† ุจุนุฏู‡ู… ูˆุณَู†َّ ูู„ุงู†ٌ ุทุฑูŠู‚ุงً ู…ู† ุงู„ุฎูŠุฑ ูŠَุณُู†ُّู‡ ุฅِุฐุง ุงุจุชุฏุฃَ ุฃَู…ุฑุงً ู…ู† ุงู„ุจِุฑِّ ู„ู… ูŠุนุฑูู‡ ู‚ูˆู…ُู‡ ูุงุณْุชَุณَู†ُّูˆุง ุจู‡ ูˆุณَู„َูƒُูˆู‡ ูˆู‡ูˆ ุณَู†ِูŠู† ูˆูŠู‚ุงู„ ุณَู†َّ ุงู„ุทุฑูŠู‚َ ุณَู†ّุงً ูˆุณَู†َู†ุงً ูุงู„ุณَّู†ُّ ุงู„ู…ุตุฏุฑ ูˆุงู„ุณَّู†َู†ُ ุงู„ุงุณู… ุจู…ุนู†ู‰ ุงู„ู…َุณْู†ูˆู† ูˆูŠู‚ุงู„ ุชَู†َุญَّ ุนู† ุณَู†َู†ِ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุณُู†َู†ู‡ ูˆุณِู†َู†ِู‡ ุซู„ุงุซ ู„ุบุงุช ู‚ุงู„ ุฃَุจูˆ ุนุจูŠุฏ ุณَู†َู†ُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ูˆุณُู†ُู†ُู‡ ู…َุญَุฌَّุชُู‡ ูˆุชَู†َุญَّ ุนู† ุณَู†َู†ِ ุงู„ุฌุจู„ ุฃَูŠ ุนู† ูˆุฌู‡ู‡ ุงู„ุฌูˆู‡ุฑูŠ ุงู„ุณَّู†َู†ُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูŠู‚ุงู„ ุงุณุชู‚ุงู… ูู„ุงู† ุนู„ู‰ ุณَู†َู†ٍ ูˆุงุญุฏ ูˆูŠู‚ุงู„ ุงู…ْุถِ ุนู„ู‰ ุณَู†َู†ِูƒ ูˆุณُู†َู†ِูƒ ุฃَูŠ ุนู„ู‰ ูˆุฌู‡ูƒ ูˆุงู„ู…ُุณَู†ْุณَِู†ُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ ุงู„ู…ุณู„ูˆูƒ ูˆููŠ ุงู„ุชู‡ุฐูŠุจ ุทุฑูŠู‚ ูŠُุณْู„َูƒُ ูˆุชَุณَู†َّู†َ ุงู„ุฑุฌู„ُ ููŠ ุนَุฏْูˆِู‡ ูˆุงุณْุชَู†َّ ู…ุถู‰ ุนู„ู‰ ูˆุฌู‡ู‡ ูˆู‚ูˆู„ ุฌุฑูŠุฑ ุธَู„ِู„ْู†ุง ุจู…ُุณْุชَู†ِّ ุงู„ุญَุฑُูˆุฑِ ูƒุฃَู†ู†ุง ู„َุฏู‰ ูَุฑَุณٍ ู…ُุณْุชَู‚ْุจِู„ِ ุงู„ุฑูŠุญِ ุตุงุฆِู… ุนู†ู‰ ุจู…ُุณْุชَู†ِّู‡ุง ู…ูˆุถุนَ ุฌَุฑْูŠ ุงู„ุณَّุฑุงุจِ ูˆู‚ูŠู„ ู…ูˆุถุน ุงุดุชุฏุงุฏ ุญุฑู‡ุง ูƒุฃَู†ู‡ุง ุชَุณْุชَู†ُّ ููŠู‡ ุนَุฏْูˆุงً ูˆู‚ุฏ ูŠุฌูˆุฒ ุฃَู† ูŠูƒูˆู†

[37] Abussa’adat Al Mubarak bin Muhammad al Jazri, “An Nihayah fii Ghariibil Hadits wal Atsar” Op.Cit Juz II halaman 1022:
ุงู„ู†ู‡ุงูŠุฉ ููŠ ุบุฑูŠุจ ุงู„ุฃุซุฑ [ ุฌุฒุก 2 - ุตูุญุฉ 1022 ]
{ ุณู†ู† } ... ู‚ุฏ ุชูƒุฑุฑ ููŠ ุงู„ุญุฏูŠุซ ุฐูƒุฑ [ ุงู„ุณُّู†ุฉ ] ูˆู…ุง ุชุตุฑَّู ู…ู†ู‡ุง . ูˆุงู„ุฃุตู„ُ ููŠู‡ุง ุงู„ุธุฑูŠูุฉ ูˆุงู„ุณِّูŠุฑุฉ . ูˆุฅุฐุง ุฃُุทْู„ِู‚َุช ููŠ ุงู„ุดَّุฑุน ูุฅู†ู…ุง ูŠُุฑุงุฏُ ุจู‡ุง ู…ุง ุฃู…َุฑَ ุจู‡ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ّู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูˆู†ู‡ู‰ ุนู†ู‡ ูˆู†َุฏَุจ ุฅู„ูŠู‡ ู‚ูˆู„ุง ูˆูِุนْู„ุง ู…ู…ุง ู„ู… ูŠَู†ْุทู‚ ุจู‡ ุงู„ูƒِุชุงุจُ ุงู„ุนุฒูŠุฒُ . ูˆู„ู‡ุฐุง ูŠู‚ุงู„ ููŠ ุฃุฏِู„َّุฉ ุงู„ุดَّุฑุน ุงู„ูƒِุชุงุจُ ูˆุงู„ุณُّู†َّุฉ ุฃูŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆุงู„ุญุฏูŠุซ
[38] Razi, Muhammad bin Abu Bakar Abdul Qadir Ar- (1995) “al Mukhtar al Sihaah”, Op. Cit. Juz I, halaman 326:
ู…ุฎุชุงุฑ ุงู„ุตุญุงุญ [ ุฌุฒุก 1 - ุตูุญุฉ 326 ]
[ ุณู†ู† ] ุณ ู† ู† : ุงู„ุณَّู†َู†ُ ุงู„ุทุฑูŠู‚ุฉ ูŠู‚ุงู„ ุงุณุชู‚ุงู… ูู„ุงู† ุนู„ู‰ ุณู†ู† ูˆุงุญุฏ ูˆูŠู‚ุงู„ ุงู…ุถ ุนู„ู‰ ุณَู†َู†ِูƒَ ูˆ ุณُู†َู†ِูƒَ ุฃูŠ ุนู„ู‰ ูˆุฌู‡ูƒ
[39] ุณู†ู†
ุณُู†َّุฉَ ุงู„ู„َّู‡ِ: ุงู„ุฃุญุฒุงุจ/38 /62 ุงู„ูุชุญ/23 (3) ุณُู†َّุชَ ุงู„ู„َّู‡ِ: ุบุงูุฑ/85 (1) ู„ِุณُู†َّุฉِ ุงู„ู„َّู‡ِ: ุงู„ุฃุญุฒุงุจ/62 ุงู„ูุชุญ/23 (2) ู„ِุณُู†َّุชِ ุงู„ู„َّู‡ِ: ูุงุทุฑ/43 /43 (2) ุณُู†َّุชَ ุงู„ู„َّู‡ِ ุงู„َّุชِูŠ ู‚َุฏْ ุฎَู„َุชْ: ุบุงูุฑ/85 (1) ุณُู†َّุฉَ ุงู„ู„َّู‡ِ ุงู„َّุชِูŠ ู‚َุฏْ ุฎَู„َุชْ: ุงู„ูุชุญ/23 (1) ุณُู†َّุฉَ ุงู„ู„َّู‡ِ ูِูŠ ุงู„َّุฐِูŠู†َ ุฎَู„َูˆْุง ู…ِู† ู‚َุจْู„ُ: ุงู„ุฃุญุฒุงุจ/38 /62 (2) ุณُู†َّุชُ ุงู„ุฃَูˆَّู„ِูŠู†َ: ุงู„ุฃู†ูุงู„/38 (1) ุณُู†َّุฉُ ุงู„ุฃَูˆَّู„ِูŠู†َ: ุงู„ุญุฌุฑ/13 ุงู„ูƒู‡ู/55 (2) ุณُู†َّุชَ ุงู„ุฃَูˆَّู„ِูŠู†َ: ูุงุทุฑ/43 (1)
[40] Lihat: ุชูุณูŠุฑ ุงู„ุทุจุฑูŠ ุฌ: 4 ุต: 100
ูˆุฃู…ุง ุงู„ุณู†ู† ูุฅู†ู‡ุง ุฌู…ุน ุณู†ุฉ ูˆุงู„ุณู†ุฉ ู‡ูŠ ุงู„ู…ุซุงู„ ุงู„ู…ุชุจุน ูˆุงู„ุฅู…ุงู… ุงู„ู…ูˆุชู… ุจู‡ ูŠู‚ุงู„ ู…ู†ู‡ ุณู† ูู„ุงู† ููŠู†ุง ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ ูˆุณู† ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ ุฅุฐุง ุนู…ู„ ุนู…ู„ุง ุงุชุจุน ุนู„ูŠู‡ ู…ู† ุฎูŠุฑ ูˆุดุฑ ูˆู…ู†ู‡ ู‚ูˆู„ ู„ุจูŠุฏ ุงุจู† ุฑุจูŠุนุฉ ู…ู† ู…ุนุดุฑ ุณู†ุช ู„ู‡ู… ุขุจุงุคู‡ู… ูˆู„ูƒู„ ู‚ูˆู… ุณู†ุฉ ูˆุฅู…ุงู…ู‡ุง ูˆู‚ูˆู„ ุณู„ูŠู…ุงู† ุจู† ู‚ุชุฉ ูˆุฅู† ุงู„ุฃู„ู‰ ุจุงู„ุทู ู…ู† ุขู„ ู‡ุงุดู… ุชุขุณูˆุง ูุณู†ูˆุง ู„ู„ูƒุฑุงู… ุงู„ุชุขุณูŠุง ูˆู‚ุงู„ ุงุจู† ุฒูŠุฏ ููŠ ุฐู„ูƒ ู…ุง ุญุฏุซู†ูŠ ูŠูˆู†ุณ ู‚ุงู„ ุฃุฎุจุฑู†ุง ุงุจู† ูˆู‡ุจ ู‚ุงู„ ู‚ุงู„ ุงุจู† ุฒูŠุฏ ููŠ ู‚ูˆู„ู‡ ู‚ุฏ ุฎู„ุช ู…ู† ู‚ุจู„ูƒู… ุณู†ู† ู‚ุงู„ ุฃู…ุซุงู„
[41] Misalnya lihat: ุชูุณูŠุฑ ุงุจู† ูƒุซูŠุฑ ุฌ: 1 ุต: 409
ู‚ุฏ ุฎู„ุช ู…ู† ู‚ุจู„ูƒู… ุณู†ู† ุฃูŠ ู‚ุฏ ุฌุฑู‰ ู†ุญูˆ ู‡ุฐุง ุนู„ู‰ ุงู„ุฃู…ู… ุงู„ุฐูŠู† ูƒุงู†ูˆุง ู…ู† ู‚ุจู„ูƒู… ู…ู† ุฃุชุจุงุน ุงู„ุฃู†ุจูŠุงุก ุซู… ูƒุงู†ุช ุงู„ุนุงู‚ุจุฉ ู„ู‡ู… ูˆุงู„ุฏุงุฆุฑุฉ ุนู„ู‰ ุงู„ูƒุงูุฑูŠู† ูˆู„ู‡ุฐุง ู‚ุงู„ ุชุนุงู„ู‰ ูุณูŠุฑูˆุง ููŠ ุงู„ุฃุฑุถ ูุงู†ุธุฑูˆุง ูƒูŠู ูƒุงู† ุนุงู‚ุจุฉ ุงู„ู…ูƒุฐุจูŠู† ุซู… ู‚ุงู„ ุชุนุงู„ู‰ ู‡ุฐุง ุจูŠุงู† ู„ู„ู†ุงุณ ูŠุนู†ูŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ููŠู‡ ุจูŠุงู† ุงู„ุฃู…ูˆุฑ ุนู„ู‰ ุฌู„ูŠุชู‡ุง ูˆูƒูŠู ูƒุงู† ุงู„ุฃู…ู… ุงู„ุฃู‚ุฏู…ูˆู† ู…ุน ุฃุนุฏุงุฆู‡ู… ูˆู‡ุฏู‰ ูˆู…ูˆุนุธุฉ ูŠุนู†ูŠ ุงู„ู‚ุฑุขู† ููŠู‡ ุฎุจุฑ ู…ุง ู‚ุจู„ูƒู… ูˆู‡ุฏู‰ ู„ู‚ู„ูˆุจูƒู… ูˆู…ูˆุนุธุฉ ุฃูŠ ุฒุงุฌุฑุง ุนู† ุงู„ู…ุญุงุฑู… ูˆุงู„ู…ุขุซู…
[42] Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala (1283 H – 1353 H) “Tuhfatu al Ahwazi”, t.th. Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah. Juz VII, halaman 365:
ุชุญูุฉ ุงู„ุฃุญูˆุฐูŠ ุฌ: 7 ุต: 365
ู‚ูˆู„ู‡ ุนู† ุงุจู† ุฌุฑูŠุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุงุณู…ู‡ ุงู„ู…ู†ุฐุฑ ุจู† ุฌุฑูŠุฑ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุงู„ุจุฌู„ูŠ ุงู„ูƒูˆููŠ ู…ู‚ุจูˆู„ ู…ู† ุงู„ุซุงู„ุซุฉ ู‚ูˆู„ู‡ ู…ู† ุณู† ุณู†ุฉ ุฎูŠุฑ ูˆููŠ ุฑูˆุงูŠุฉ ู…ุณู„ู… ู…ู† ุณู† ููŠ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุณู†ุฉ ุญุณู†ุฉ ุฃูŠ ุฃุชู‰ ุจุทุฑูŠู‚ุฉ ู…ุฑุถูŠุฉ ูŠุดู‡ุฏ ู„ู‡ุง ุฃุตู„ ู…ู† ุฃุตูˆู„ ุงู„ุฏูŠู† ูุงุชุจุน ุจุตูŠุบุฉ ุงู„ู…ุฌู‡ูˆู„ ูˆุงู„ุถู…ูŠุฑ ุฅู„ู‰ ู…ู† ุนู„ูŠู‡ุง ุฃูˆ ุนู„ู‰ ุชู„ูƒ ุงู„ุณู†ุฉ ูู„ู‡ ุฃุฌุฑู‡ ุงู„ุถู…ูŠุฑุงู† ูŠุฑุฌุนุงู† ุฅู„ู‰ ู…ู† ุณู† ุฃูŠ ู„ู‡ ุฃุฌุฑ ุนู…ู„ู‡ ุจุชู„ูƒ ุงู„ุณู†ุฉ ู…ู†ู‚ูˆุต ู…ู† ุฃุฌูˆุฑู‡ู… ุดูŠุฆุง ุจุงู„ู†ุตุจ ุนู„ู‰ ุฃู†ู‡ ู…ูุนูˆู„ ู…ุทู„ู‚ ุฃูŠ ู„ุง ูŠู†ู‚ุต ู…ู† ุฃุฌูˆุฑู‡ู… ุดูŠุฆุง ู…ู† ุงู„ู†ู‚ุต ูˆู…ู† ุณู† ุณู†ุฉ ุดุฑ ูˆููŠ ุจุนุถ ุงู„ู†ุณุฎ ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ ูˆููŠ ุฑูˆุงูŠุฉ ู…ุณู„ู… ูˆู…ู† ุณู† ููŠ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ุณู†ุฉ ุณูŠุฆุฉ ุฃูŠ ู…ุฑุถูŠุฉ ู„ุง ูŠุดู‡ุฏ ู„ู‡ุง ุฃุตู„ ู…ู† ุฃุตูˆู„ ุงู„ุฏูŠู† ู‚ูˆู„ู‡ ูˆููŠ ุงู„ุจุงุจ ุนู† ุญุฐูŠูุฉ ุฃุฎุฑุฌู‡ ุฃุญู…ุฏ ู‚ูˆู„ู‡ ู‡ุฐุง ุญุฏูŠุซ ุญุณู† ุตุญูŠุญ ูˆุฃุฎุฑุฌู‡ ู…ุณู„ู… ู…ุทูˆู„ุง ูˆุงุจู† ู…ุงุฌุฉ ู…ู† ุทุฑูŠู‚ ุงู„ู…ู†ุฐุฑ ุจู† ุฌุฑูŠุฑ ุนู† ุฃุจูŠู‡
[43] Abdul Wahab Khallaf “’Ilmu Ushul al Fiqh”, 1398 H, 1978 M, Kuwait: Daar al Qalam, halaman 36
ุงู„ุณู†ุฉ ููŠ ุงู„ุฅุตุทู„ุงุญ ุงู„ุดุฑุนูŠ : ู‡ูŠ ู…ุง ุตุฏุฑ ุนู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ e ู…ู† ، ู‚ูˆู„ ، ุฃูˆ ูุนู„ ، ุฃูˆ ุชู‚ุฑูŠุฑ .
[44] Ibid.
[45] Al-Syatibi, Ibrahim bin Musa al-Lakhmi (1999), al-Muwafaqat Fi Usul al-Syariah, Beirut: Dar al-Ma’rifah, jil. 2 m.s. 324.
[46] Ibid, m.s. 326.
[47] Ibid, m.s. 331.
[48] Jiwa seperti inilah yang diharapkan muncul setelah ziarah kubur:
ุตุญูŠุญ ู…ุณู„ู… ุฌ: 2 ุต: 672
977 ุญุฏุซู†ุง ุฃุจูˆ ุจูƒุฑ ุจู† ุฃุจูŠ ุดูŠุจุฉ ูˆู…ุญู…ุฏ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ู†ู…ูŠุฑ ูˆู…ุญู…ุฏ ุจู† ุงู„ู…ุซู†ู‰ ูˆุงู„ู„ูุธ ู„ุฃุจูŠ ุจูƒุฑ ูˆุงุจู† ู†ู…ูŠุฑ ู‚ุงู„ูˆุง ุญุฏุซู†ุง ู…ุญู…ุฏ ุจู† ูุถูŠู„ ุนู† ุฃุจูŠ ุณู†ุงู† ูˆู‡ูˆ ุถุฑุงุฑ ุจู† ู…ุฑุฉ ุนู† ู…ุญุงุฑุจ ุจู† ุฏุซุงุฑ ุนู† ุจู† ุจุฑูŠุฏุฉ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ู‚ุงู„ ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุซู… ู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ุฒูŠุงุฑุฉ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ูุฒูˆุฑูˆู‡ุง ูˆู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ู„ุญูˆู… ุงู„ุฃุถุงุญูŠ ููˆู‚ ุซู„ุงุซ ูุฃู…ุณูƒูˆุง ู…ุง ุจุฏุง ู„ูƒู… ูˆู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ุงู„ู†ุจูŠุฐ ุฅู„ุง ููŠ ุณู‚ุงุก ูุงุดุฑุจูˆุง ููŠ ุงู„ุฃุณู‚ูŠุฉ ูƒู„ู‡ุง ูˆู„ุง ุชุดุฑุจูˆุง ู…ุณูƒุฑุง ู‚ุงู„ ุจู† ู†ู…ูŠุฑ ููŠ ุฑูˆุงูŠุชู‡ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุจุฑูŠุฏุฉ ุนู† ุฃุจูŠู‡
ุงู„ู…ู†ุชู‚ู‰ ู„ุงุจู† ุงู„ุฌุงุฑูˆุฏ ุฌ: 1 ุต: 219
863 ุญุฏุซู†ุง ู…ุญู…ุฏ ุจู† ูŠุญูŠู‰ ู‚ุงู„ ุซู†ุง ุฃุจูˆ ุนุงุตู… ุนู† ุณููŠุงู† ุนู† ุนู„ู‚ู…ุฉ ุจู† ู…ุฑุซุฏ ุนู† ุณู„ูŠู…ุงู† ุจู† ุจุฑูŠุฏุฉ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุฃู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ุซู… ุฅู†ูŠ ูƒู†ุช ู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ุฒูŠุงุฑุฉ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ูุฒูˆุฑูˆู‡ุง ูุฅู† ู…ุญู…ุฏุง ุฃุฐู† ู„ู‡ ููŠ ุฒูŠุงุฑุฉ ุฃู…ู‡ ูˆุฅู†ู‡ุง ุชุฐูƒุฑ ุงู„ุขุฎุฑุฉ ูˆู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ุฃู† ุชู…ุณูƒูˆุง ุนู† ู„ุญูˆู… ุงู„ุฃุถุงุญูŠ ููˆู‚ ุซู„ุงุซ ุฃุฑุฏุช ุจุฐู„ูƒ ุฃู† ูŠุชุณุน ุฃู‡ู„ ุงู„ุณุนุฉ ุนู„ู‰ ู…ู† ู„ุง ุณุนุฉ ู„ู‡ ููƒู„ูˆุง ูˆุงุฏุฎุฑูˆุง ูˆู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ุงู„ุธุฑูˆู ูˆุฅู† ุธุฑูุง ู„ุง ูŠุญู„ ุดูŠุฆุง ูˆู„ุง ูŠุญุฑู…ู‡ ูˆูƒู„ ู…ุณูƒุฑ ุญุฑุงู…
ูุชุญ ุงู„ุจุงุฑูŠ ุฌ: 3 ุต: 148
ู‚ูˆู„ู‡ ุจุงุจ ุฒูŠุงุฑุฉ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ุฃูŠ ู…ุดุฑูˆุนูŠุชู‡ุง ูˆูƒุฃู†ู‡ ู„ู… ูŠุตุฑุญ ุจุงู„ุญูƒู… ู„ู…ุง ููŠู‡ ู…ู† ุงู„ุฎู„ุงู ูƒู…ุง ุณูŠุฃุชูŠ ูˆูƒุฃู† ุงู„ู…ุตู†ู ู„ู… ูŠุซุจุช ุนู„ู‰ ุดุฑุทู‡ ุงู„ุฃุญุงุฏูŠุซ ุงู„ู…ุตุฑุญู‡ ุจุงู„ุฌูˆุงุฒ ูˆู‚ุฏ ุฃุฎุฑุฌู‡ ู…ุณู„ู… ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุจุฑูŠุฏุฉ ูˆููŠู‡ ู†ุณุฎ ุงู„ู†ู‡ูŠ ุนู† ุฐู„ูƒ ูˆู„ูุธู‡ ูƒู†ุช ู†ู‡ูŠุชูƒู… ุนู† ุฒูŠุงุฑุฉ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ูุฒูˆุฑูˆู‡ุง ูˆุฒุงุฏ ุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ ูˆุงู„ู†ุณุงุฆูŠ ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุฃู†ุณ ูุฅู†ู‡ุง ุชุฐูƒุฑ ุงู„ุขุฎุฑุฉ ูˆู„ู„ุญุงูƒู… ู…ู† ุญุฏูŠุซู‡ ููŠู‡ ูˆุชุฑู‚ ุงู„ู‚ู„ุจ ูˆุชุฏู…ุน ุงู„ุนูŠู† ูู„ุง ุชู‚ูˆู„ูˆุง ู‡ุฌุฑุง ุฃูŠ ูƒู„ุงู…ุง ูุงุญุดุง ูˆู‡ูˆ ุจุถู… ุงู„ู‡ุงุก ูˆุณูƒูˆู† ุงู„ุฌูŠู… ูˆู„ู‡ ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุจู† ู…ุณุนูˆุฏ ูุฅู†ู‡ุง ุชุฒู‡ุฏ ููŠ ุงู„ุฏู†ูŠุง ูˆู„ู…ุณู„ู… ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุฃุจูŠ ู‡ุฑูŠุฑุฉ ู…ุฑููˆุนุง ุฒูˆุฑูˆุง ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ูุฅู†ู‡ุง ุชุฐูƒุฑ ุงู„ู…ูˆุช ู‚ุงู„ ุงู„ู†ูˆูˆูŠ ุชุจุนุง ู„ู„ุนุจุฏุฑูŠ ูˆุงู„ุญุงุฒู…ูŠ ูˆุบูŠุฑู‡ู…ุง ุงุชูู‚ูˆุง ุนู„ู‰ ุฃู† ุฒูŠุงุฑุฉ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ู„ู„ุฑุฌุงู„ ุฌุงุฆุฒุฉ ูƒุฐุง ุงุทู„ู‚ูˆุง ูˆููŠู‡ ู†ุธุฑ ู„ุฃู† ุจู† ุฃุจูŠ ุดูŠุจุฉ ูˆุบูŠุฑู‡ ุฑูˆู‰ ุนู† ุจู† ุณูŠุฑูŠู† ูˆุฅุจุฑุงู‡ูŠู… ุงู„ู†ุฎุนูŠ ูˆุงู„ุดุนุจูŠ ุงู„ูƒุฑุงู‡ุฉ ู…ุทู„ู‚ุง ุญุชู‰ ู‚ุงู„ ุงู„ุดุนุจูŠ ู„ูˆู„ุง ู†ู‡ูŠ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู„ุฒุฑุช ู‚ุจุฑ ุงุจู†ุชูŠ ูู„ุนู„ ู…ู† ุฃุทู„ู‚ ุฃุฑุงุฏ ุจุงู„ุงุชูุงู‚ ู…ุง ุงุณุชู‚ุฑ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุฃู…ุฑ ุจุนุฏ ู‡ุคู„ุงุก ูˆูƒุฃู† ู‡ุคู„ุงุก ู„ู… ูŠุจู„ุบู‡ู… ู…ุญู…ูˆุฏ ูˆุงู„ู„ู‡ ุฃุนู„ู… ูˆู…ู‚ุงุจู„ ู‡ุฐุง ู‚ูˆู„ ุจู† ุญุฒู… ุฃู† ุฒูŠุงุฑุฉ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ูˆุงุฌุจุฉ ูˆู„ูˆ ู…ุฑุฉ ูˆุงุญุฏุฉ ููŠ ุงู„ุนู…ุฑ ู„ูˆุฑูˆุฏ ุงู„ุฃู…ุฑ ุจู‡ ูˆุงุฎุชู„ู ููŠ ุงู„ู†ุณุงุก ูู‚ูŠู„ ุฏุฎู„ู† ููŠ ุนู…ูˆู… ุงู„ุฅุฐู† ูˆู‡ูˆ ู‚ูˆู„ ุงู„ุฃูƒุซุฑ ูˆู…ุญู„ู‡ ู…ุง ุฅุฐุง ุฃู…ู†ุช ุงู„ูุชู†ุฉ ูˆูŠุคูŠุฏ ุงู„ุฌูˆุงุฒ ุญุฏูŠุซ ุงู„ุจุงุจ ูˆู…ูˆุถุน ุงู„ุฏู„ุงู„ุฉ ู…ู†ู‡ ุฃู†ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู„ู… ูŠู†ูƒุฑ ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ู‚ุนูˆุฏู‡ุง ุซู… ุงู„ู‚ุจุฑ ูˆุชู‚ุฑูŠุฑู‡ ุญุฌุฉ
[49] Tentang amalan yang dilakukan pada waktu ziarah kubur sebenarnya terdapat perbedaan pendapat ulama, seperti kita kutip dari: Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Muqaddisi Abu Muhammad (541 H-620H) “Al Mughni”, cet. I 1405, Beirut: Daar al Fikr.
ุงู„ู…ุบู†ูŠ ุฌ: 2 ุต: 224
ูุตู„ ูˆุฅุฐุง ู…ุฑ ุจุงู„ู‚ุจูˆุฑ ุฃูˆุฒุงุฑู‡ุง ุงุณุชุญุจ ุฃู† ูŠู‚ูˆู„ ู…ุง ุฑูˆู‰ ุนู† ู…ุณู„ู… ุนู† ุจุฑูŠุฏุฉ ู‚ุงู„ ูƒุงู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูŠุนู„ู…ู‡ู… ุฅุฐุง ุฎุฑุฌูˆุง ุฅู„ู‰ ุงู„ู…ู‚ุงุจุฑ ููƒุงู† ู‚ุงุฆู„ู‡ู… ูŠู‚ูˆู„ ุงู„ุณู„ุงู… ุนู„ูŠูƒู… ุฃู‡ู„ ุงู„ุฏูŠุงุฑ ู…ู† ุงู„ู…ุคู…ู†ูŠู† ูˆุงู„ู…ุณู„ู…ูŠู† ูˆุฅู†ุง ุฅู† ุดุงุก ุงู„ู„ู‡ ุจูƒู… ู„ู„ุงุญู‚ูˆู† ู†ุณุฃู„ ุงู„ู„ู‡ ู„ู†ุง ูˆู„ูƒู… ุงู„ุนุงููŠุฉ ูˆููŠ ุญุฏูŠุซ ุนุงุฆุดุฉ ูˆูŠุฑุญู… ุงู„ู„ู‡ ุงู„ู…ุณุชู‚ุฏู…ูŠู† ู…ู†ุง ูˆุงู„ู…ุณุชุฃุฎุฑูŠู† ูˆููŠ ุญุฏูŠุซ ุขุฎุฑ ุงู„ู„ู‡ู… ู„ุง ุชุญุฑู…ู†ุง ุฃุฌุฑู‡ู… ูˆู„ุง ุชูุชู†ุง ุจุนุฏู‡ู… ูˆุฅู† ุฃุฑุงุฏ ู‚ุงู„ ุงู„ู„ู‡ู… ุงุบูุฑ ู„ู†ุง ูˆู„ู‡ู… ูƒุงู† ุญุณู†ุง ูุตู„ ู‚ุงู„ ูˆู„ุง ุจุฃุณ ุจุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ ุซู… ุงู„ู‚ุจุฑ ูˆู‚ุฏ ุฑูˆูŠ ุนู† ุฃุญู…ุฏ ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ ุฅุฐุง ุฏุฎู„ุชู… ุงู„ู…ู‚ุงุจุฑ ุงู‚ุฑุคูˆุง ุขูŠุฉ ุงู„ูƒุฑุณูŠ ูˆุซู„ุงุซ ู…ุฑุงุฑ ู‚ู„ ู‡ูˆ ุงู„ู„ู‡ ุฃุญุฏ ุงู„ุฅุฎู„ุงุต 1 ุซู… ู‚ุงู„ ุงู„ู„ู‡ู… ุฅู† ูุถู„ู‡ ู„ุฃู‡ู„ ุงู„ู…ู‚ุงุจุฑ ูˆุฑูˆูŠ ุนู†ู‡ ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ ุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ ุซู… ุงู„ู‚ุจุฑ ุจุฏุนุฉ ูˆุฑูˆูŠ ุฐู„ูƒ ุนู† ู‡ุดูŠู… ู‚ุงู„ ุฃุจูˆ ุจูƒุฑ ู†ู‚ู„ ุฐู„ูƒ ุนู† ุฃุญู…ุฏ ุฌู…ุงุนุฉ ุซู… ุฑุฌุน ุฑุฌูˆุนุง ุฃุจุงู† ุจู‡ ุนู† ู†ูุณู‡ ูุฑูˆู‰ ุฌู…ุงุนุฉ ุฃู† ุฃุญู…ุฏ ู†ู‡ู‰ ุถุฑูŠุฑุง ุฃู† ูŠู‚ุฑุฃ ุซู… ุงู„ู‚ุจุฑ ูˆู‚ุงู„ ู„ู‡ ุฅู† ุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ ุซู… ุงู„ู‚ุจุฑ ุจุฏุนุฉ ูู‚ุงู„ ู„ู‡ ู…ุญู…ุฏ ุจู† ู‚ุฏุงู…ุฉ ุงู„ุฌูˆู‡ุฑูŠ ูŠุง ุฃุจุง ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ู…ุง ุชู‚ูˆู„ ููŠ ู…ุจุดุฑ ูู„ู‡ุฐุง ู‚ุงู„ ุซู‚ุฉ ู‚ุงู„ ูุฃุฎุจุฑู†ูŠ ู…ุจุดุฑ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุฃู†ู‡ ุฃูˆุตู‰ ุฅุฐุง ุฏูู† ูŠู‚ุฑุฃ ุนู†ุฏู‡ ุจูุงุชุญุฉ ุงู„ุจู‚ุฑุฉ ูˆุฎุงุชู…ุชู‡ุง ูˆู‚ุงู„ ุณู…ุนุช ุงุจู† ุนู…ุฑ ูŠูˆุตูŠ ุจุฐู„ูƒ ู‚ุงู„ ุฃุญู…ุฏ ุจู† ุญู†ุจู„ ูุงุฑุฌุน ูู‚ู„ ู„ู„ุฑุฌู„ ูŠู‚ุฑุฃ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุฎู„ุงู„ ุญุฏุซู†ูŠ ุฃุจูˆ ุนู„ูŠ ุงู„ุญุณู† ุจู† ุงู„ู‡ูŠุซู… ุงู„ุจุฒุงุฑ ุดูŠุฎู†ุง ุงู„ุซู‚ุฉ ุงู„ู…ุฃู…ูˆู† ู‚ุงู„ ุฑุฃูŠุช ุฃุญู…ุฏ ุจู† ุญู†ุจู„ ูŠุตู„ูŠ ุฎู„ู ุถุฑูŠุฑ ูŠู‚ุฑุฃ ุนู„ู‰ ุงู„ู‚ุจูˆุฑ ูˆู‚ุฏ ุฑูˆูŠ ุนู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ ู…ู† ุฏุฎู„ ุงู„ู…ู‚ุงุจุฑ ูู‚ุฑุฃ ุณูˆุฑุฉ ูŠุณ ุฎูู ุนู†ู‡ู… ูŠูˆู…ุฆุฐ ูˆูƒุงู† ู„ู‡ ุจุนุฏุฏ ู…ู† ููŠู‡ุง ุญุณู†ุงุช ูˆุฑูˆูŠ ุนู†ู‡ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุณู„ุงู… ู…ู† ุฒุงุฑ ู‚ุจุฑ ูˆุงู„ุฏูŠู‡ ูู‚ุฑุฃ ุนู†ุฏู‡ ุฃูˆ ุนู†ุฏู‡ู…ุง ูŠุณ ุบูุฑ ู„ู‡
ุงู„ู…ุบู†ูŠ ุฌ: 2 ุต: 225- 226
ูุตู„ ูˆู†ุตู ู‚ุฑุจุฉ ูุนู„ู‡ุง ูˆุฌุนู„ ุซูˆุงุจู‡ุง ู„ู„ู…ูŠุช ุงู„ู…ุณู„ู… ู†ูุนู‡ ุฐู„ูƒ ุฅู† ุดุงุก ุงู„ู„ู‡ ุฃู…ุง ุงู„ุฏุนุงุก ูˆุงู„ุงุณุชุบูุงุฑ ูˆุงู„ุตุฏู‚ุฉ ูˆุฃุฏุงุก ุงู„ูˆุงุฌุจุงุช ูู„ุง ุฃุนู„ู… ููŠู‡ ุฎู„ุงูุง ุฅุฐุง ูƒุงู†ุช ุงู„ูˆุงุฌุจุงุช ู…ู…ุง ูŠุฏุฎู„ู‡ ุงู„ู†ูŠุงุจุฉ ูˆู‚ุฏ ู‚ุงู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ูˆุงู„ุฐูŠู† ุฌุงุคูˆุง ู…ู† ุจุนุฏู‡ู… ูŠู‚ูˆู„ูˆู† ุฑุจู†ุง ุงุบูุฑ ู„ู†ุง ูˆู„ุฅุฎูˆุงู†ู†ุง ุงู„ุฐูŠู† ุณุจู‚ูˆู†ุง ุจุงู„ุฅูŠู…ุงู† ุงู„ุญุดุฑ 10 ูˆู‚ุงู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ูˆุงุณุชุบูุฑ ู„ุฐู†ุจูƒ ูˆู„ู„ู…ุคู…ู†ูŠู† ูˆุงู„ู…ุคู…ู†ุงุช ู…ุญู…ุฏ 19 ูˆุฏุนุง ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู„ุฃุจูŠ ุณู„ู…ุฉ ุญูŠู† ู…ุงุช ูˆู„ู„ู…ูŠุช ุงู„ุฐูŠ ุตู„ูŠ ุนู„ูŠู‡ ููŠ ุญุฏูŠุซ ุนูˆู ุจู† ู…ุงู„ูƒ ูˆู„ูƒู„ ู…ูŠุช ุตู„ูŠ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณุฃู„ ุฑุฌู„ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูู‚ุงู„ ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุฅู† ุฃู…ูŠ ู…ุงุชุช ููŠู†ูุนู‡ุง ุฅู† ุชุตุฏู‚ุช ุนู†ู‡ุง ู‚ุงู„ ู†ุนู… ุฑูˆุงู‡ ุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ ูˆุฑูˆูŠ ุฐู„ูƒ ุนู† ุณุนุฏ ุจู† ุนุจุงุฏุฉ ูˆุฌุงุกุช ุงู…ุฑุฃุฉ ุฅู„ู‰ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูู‚ุงู„ุช ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุฅู† ูุฑูŠุถุฉ ุงู„ู„ู‡ ููŠ ุงู„ุญุฌ ุฃุฏุฑูƒุช ุฃุจูŠ ุดูŠุฎุง ูƒุจูŠุฑุง ู„ุง ูŠุณุชุทูŠุน ุฃู† ูŠุซุจุช ุนู„ู‰ ุงู„ุฑุงุญู„ุฉ ุฃูุฃุญุฌ ุนู†ู‡ ู‚ุงู„ ุฃุฑุฃูŠุช ู„ูˆ ูƒุงู† ุนู„ู‰ ุฃุจูŠูƒ ุฏูŠู† ุฃูƒู†ุช ู‚ุงุถูŠุชู‡ ู‚ุงู„ุช ู†ุนู… ู‚ุงู„ ูุฏูŠู† ุงู„ู„ู‡ ุฃุญู‚ ุฃู† ูŠู‚ุถู‰ ูˆู‚ุงู„ ู„ู„ุฐูŠ ุณุฃู„ู‡ ุฅู† ุฃู…ูŠ ู…ุงุชุช ูˆุนู„ูŠู‡ุง ุตูˆู… ุดู‡ุฑ ุฃูุฃุตูˆู… ุนู†ู‡ุง ู‚ุงู„ ู†ุนู… ูˆู‡ุฐู‡ ุฃุญุงุฏูŠุซ ุตุญุงุญ ูˆููŠู‡ุง ุฏู„ุงู„ุฉ ุนู„ู‰ ุงู†ุชูุงุน ุงู„ู…ูŠุช ู„ุฃู† ุงู„ุตูˆู… ูˆุงู„ุญุฌ ูˆุงู„ุฏุนุงุก ูˆุงู„ุงุณุชุบูุงุฑ ุนุจุงุฏุงุช ุจุฏู†ูŠุฉ ูˆู‚ุฏ ุฃูˆุตู„ ุงู„ู„ู‡ ู†ูุนู‡ุง ุฅู„ู‰ ุงู„ู…ูŠุช ููƒุฐู„ูƒ ู…ุง ุณูˆุงู‡ุง ู…ุน ู…ุง ุฐูƒุฑู†ุง ู…ู† ุงู„ุญุฏูŠุซ ููŠ ุซูˆุงุจ ู…ู† ู‚ุฑุฃ ูŠุณ ูˆุชุฎููŠู ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู† ุฃู‡ู„ ุงู„ู…ู‚ุงุจุฑ ุจู‚ุฑุงุกุชู‡ ูˆุฑูˆู‰ ุนู…ุฑูˆ ุจู† ุดุนูŠุจ ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุฌุฏู‡ ุฃู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ู„ุนู…ุฑูˆ ุจู† ุงู„ุนุงุต ู„ูˆ ูƒุงู† ุฃุจูˆูƒ ู…ุณู„ู…ุง ูุฃุนุชู‚ุชู… ุนู†ู‡ ุฃูˆ ุชุตุฏู‚ุชู… ุนู†ู‡ ุฃูˆ ุญุฌุฌุชู… ุนู†ู‡ ุจู„ุบู‡ ุฐู„ูƒ ูˆู‡ุฐุง ุนุงู… ููŠ ุญุฌ ุงู„ุชุทูˆุน ูˆุบูŠุฑู‡ ูˆู„ุฃู†ู‡ ุนู…ู„ ุจุฑ ูˆุทุงุนุฉ ููˆุตู„ ู†ูุนู‡ ูˆุซูˆุงุจู‡ ูƒุงู„ุตุฏู‚ุฉ ูˆุงู„ุตูŠุงู… ูˆุงู„ุญุฌ ุงู„ูˆุงุฌุจ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุดุงูุนูŠ ู…ุง ุนุฏุง ุงู„ูˆุงุฌุจ ูˆุงู„ุตุฏู‚ุฉ ูˆุงู„ุฏุนุงุก ูˆุงู„ุงุณุชุบูุงุฑ ู„ุง ูŠูุนู„ ุนู† ุงู„ู…ูŠุช ูˆู„ุง ูŠุตู„ ุซูˆุงุจู‡ ุฅู„ูŠู‡ ู„ู‚ูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ูˆุฃู† ู„ูŠุณ ู„ู„ุฅู†ุณุงู† ุฅู„ุง ู…ุง ุณุนู‰ ุงู„ู†ุฌู… 39 ูˆู‚ูˆู„ ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฅุฐุง ู…ุงุช ุงุจู† ุขุฏู… ุงู†ู‚ุทุน ุนู…ู„ู‡ ุฅู„ุง ู…ู† ุซู„ุงุซ ุตุฏู‚ุฉ ุฌุงุฑูŠุฉ ุฃูˆ ุนู„ู… ูŠู†ุชูุน ุจู‡ ู…ู† ุจุนุฏู‡ ุฃูˆ ูˆู„ุฏ ุตุงู„ุญ ูŠุฏุนูˆุง ู„ู‡ ูˆู„ุฃู† ู†ูุนู‡ ู„ุง ูŠุชุนุฏู‰ ูุงุนู„ู‡ ูู„ุง ูŠุชุนุฏู‰ ุซูˆุงุจู‡ ูˆู‚ุงู„ ุจุนุถู‡ู… ุฅุฐุง ู‚ุฑู‰ุก ุงู„ู‚ุฑุขู† ุซู… ุงู„ู…ูŠุช ุฃูˆ ุฃู‡ุฏูŠ ุฅู„ูŠู‡ ุซูˆุงุจู‡ ูƒุงู† ุงู„ุซูˆุจ ู„ู‚ุงุฑุฆู‡ ูˆูŠูƒูˆู† ุงู„ู…ูŠุช ูƒุฃู†ู‡ ุญุงุถุฑู‡ุง ูˆุชุฑุฌู‰ ู„ู‡ ุงู„ุฑุญู…ุฉ ูˆู„ู†ุง ู…ุง ุฐูƒุฑู†ุงู‡ ูˆุฃู†ู‡ ุฅุฌู…ุงุน ุงู„ู…ุณู„ู…ูŠู† ูุฅู†ู‡ู… ููŠ ูƒู„ ุนุตุฑ ูˆู…ุตุฑ ูŠุฌุชู…ุนูˆู† ูˆูŠู‚ุฑุคูˆู† ุงู„ู‚ุฑุขู† ูˆูŠู‡ุฏูˆู† ุซูˆุงุจู‡ ุฅู„ู‰ ู…ูˆุชุงู‡ู… ู†ูƒูŠุฑ ูˆู„ุฃู† ุงู„ุญุฏูŠุซ ุตุญ ุนู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฅู† ุงู„ู…ูŠุช ูŠุนุฐุจ ุจุจูƒุงุก ุฃู‡ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุงู„ู„ู‡ ุฃูƒุฑู… ู…ู† ุฃู† ูŠูˆุตู„ ุนู‚ูˆุจุฉ ุงู„ู…ุนุตูŠุฉ ุฅู„ูŠู‡ ูˆูŠุญุฌุจ ุนู†ู‡ ุงู„ู…ุซูˆุจุฉ ูˆู„ุฃู† ุงู„ู…ูˆุตู„ ู„ุซูˆุงุจู‡ ู…ุง ุณู„ู…ูˆู‡ ู‚ุงุฏุฑ ุนู„ู‰ ุฅูŠุตุงู„ ุซูˆุงุจ ู…ุง ู…ู†ุนูˆู‡ ูˆุงู„ุขูŠุฉ ู…ุฎุตูˆุตุฉ ุจู…ุง ุณู„ู…ูˆู‡ ูˆู…ุง ุงุฎุชู„ูู†ุง ููŠู‡ ููŠ ู…ุนู†ุงู‡ ูู†ู‚ูŠุณู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆู„ุง ุญุฌุฉ ู„ู‡ู… ููŠ ุงู„ุฎุจุฑ ุงู„ุฐูŠ ุงุญุชุฌูˆุง ุจู‡ ูุฅู†ู…ุง ุฏู„ ุนู„ู‰ ุงู†ู‚ุทุงุน ุนู…ู„ู‡ ูู„ุง ุฏู„ุงู„ุฉ ููŠู‡ ุนู„ูŠู‡ ุซู… ู„ูˆ ุฏู„ ุนู„ูŠู‡ ูƒุงู† ู…ุฎุตูˆุตุง ุจู…ุง ุณู„ู…ูˆู‡ ูˆููŠ ู…ุนู†ุงู‡ ู…ุง ู…ู†ุนูˆู‡ ููŠุชุฎุตุต ุจู‡ ุฃูŠุถุง ุจุงู„ู‚ูŠุงุณ ุนู„ูŠู‡ ูˆู…ุง ุฐูƒุฑูˆู‡ ู…ู† ุตุญูŠุญ ูุฅู† ุชุนุฏูŠ ุงู„ุซูˆุงุจ ู„ูŠุณ ุจูุฑุน ู„ุชุนุฏูŠ ุงู„ู†ูุน ุซู… ู‡ูˆ ุจุงุทู„ ุจุงู„ุตูˆู… ูˆุงู„ุฏุนุงุก ูˆุงู„ุญุฌ ูˆู„ูŠุณ ู„ู‡ ุฃุตู„ ูŠุนุชุจุฑ ุจู‡ ูˆุงู„ู„ู‡ ุฃุนู„ู…
[50] Tidak diragukan bahwa mempererat silaturrahm adalah perbuatan terpuji, seperti kutipan hadits berikut:
ู…ุตุจุงุญ ุงู„ุฒุฌุงุฌุฉ ุฌ: 4 ุต: 239
1509 ุญุฏุซู†ุง ุณูˆูŠุฏ ุจู† ุณุนูŠุฏ ุซู†ุง ุตุงู„ุญ ุจู† ู…ูˆุณู‰ ุนู† ู…ุนุงูˆูŠุฉ ุจู† ุฅุณุญุงู‚ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ุจู†ุช ุทู„ุญุฉ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ุฃู… ุงู„ู…ุคู…ู†ูŠู† ู‚ุงู„ุช ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฃุณุฑุน ุงู„ุฎูŠุฑ ุซูˆุงุจุง ุงู„ุจุฑ ูˆุตู„ุฉ ุงู„ุฑุญู… ูˆุฃุณุฑุน ุงู„ุดุฑ ุนู‚ูˆุจุฉ ุงู„ุจุบูŠ ูˆู‚ุทูŠุนุฉ ุงู„ุฑุญู… 1051 ู‡ุฐุง ุฅุณู†ุงุฏ ููŠ ุตุงู„ุญ ุจู† ู…ูˆุณู‰ ุงู„ุตู„ุญูŠ ูˆู‡ูˆ ุถุนูŠู ูˆู„ู‡ ุดุงู‡ุฏ ู…ู† ุญุฏูŠุซ ุฃุจูŠ ุจูƒุฑุฉ ุฑูˆุงู‡ ุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ ูˆุงู„ุชุฑู…ุฐูŠ
ุณู†ู† ุงุจู† ู…ุงุฌู‡ ุฌ: 2 ุต: 1408
23 ุจุงุจ ุงู„ุจุบูŠ 4211 ุญุฏุซู†ุง ุงู„ุญุณูŠู† ุจู† ุงู„ุญุณู† ุงู„ู…ุฑูˆุฒูŠ ุฃู†ุจุฃู†ุง ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ูˆุงุจู† ุนู„ูŠุฉ ุนู† ุนูŠูŠู†ุฉ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุฃุจูŠ ุจูƒุฑุฉ ู‚ุงู„ ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุซู… ู…ุง ู…ู† ุฐู†ุจ ุฃุฌุฏุฑ ุฃู† ูŠุนุฌู„ ุงู„ู„ู‡ ููŠ ุงู„ุฏู†ูŠุง ู…ุน ู…ุง ูŠุฏุฎุฑ ู„ู‡ ููŠ ุงู„ุขุฎุฑุฉ ู…ู† ุงู„ุจุบูŠ ูˆู‚ุทูŠุนุฉ ุงู„ุฑุญู… 4212 ุญุฏุซู†ุง ุณูˆูŠุฏ ุจู† ุณุนูŠุฏ ุซู†ุง ุตุงู„ุญ ุจู† ู…ูˆุณู‰ ุนู† ู…ุนุงูˆูŠุฉ ุจู† ุฅุณุญุงู‚ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ุจู†ุช ุทู„ุญุฉ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ุฃู… ุงู„ู…ุคู…ู†ูŠู† ู‚ุงู„ุช ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุซู… ุฃุณุฑุน ุงู„ุฎูŠุฑ ุซูˆุงุจุง ุงู„ุจุฑ ูˆุตู„ุฉ ุงู„ุฑุญู… ูˆุฃุณุฑุน ุงู„ุดุฑ ุนู‚ูˆุจุฉ ุงู„ุจุบูŠ ูˆู‚ุทูŠุนุฉ ุงู„ุฑุญู…
ู…ุตู†ู ุงุจู† ุฃุจูŠ ุดูŠุจุฉ ุฌ: 5 ุต: 217
7 ู…ุง ู‚ุงู„ูˆุง ููŠ ุงู„ุจุฑ ูˆุตู„ุฉ ุงู„ุฑุญู… 25387 ุญุฏุซู†ุง ุงุจู† ุนูŠูŠู†ุฉ ุนู† ุงู„ุฒู‡ุฑูŠ ุนู† ุฃุจูŠ ุณู„ู…ุฉ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุฃู† ุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุนุงุฏ ุฃุจุง ุงู„ุฑุฏุงุฏ ูู‚ุงู„ ุฎูŠุฑู‡ู… ูˆุฃูˆุตู„ู‡ู… ุฃุจูˆ ู…ุญู…ุฏ ูŠุนู†ูŠ ุงุจู† ุนูˆู† ุณู…ุนุช ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูŠู‚ูˆู„ ู‚ุงู„ ุงู„ู„ู‡ ุฃู†ุง ุงู„ู„ู‡ ูˆุฃู†ุง ุงู„ุฑุญู…ู† ูˆู‡ูŠ ุงู„ุฑุญู… ุดู‚ู‚ุช ู„ู‡ุง ุฃุนุทู‰ ู…ู† ุงุณู…ูŠ ูู…ู† ูˆุตู„ู‡ุง ูˆุตู„ุชู‡ ูˆู…ู† ู‚ุทู‡ุง ุจุชุชู‡ 25388 ุญุฏุซู†ุง ูˆูƒูŠุน ุนู† ู…ุนุงูˆูŠุฉ ุจู† ุฃุจูŠ ู…ุฒุฑุฏ ุนู† ูŠุฒูŠุฏ ุจู† ุฑูˆู…ุงู† ุนู† ุนุฑูˆุฉ ุนู† ุนุงุฆุดุฉ ู‚ุงู„ุช ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุงู„ุฑุญู… ู…ุนู„ู‚ุฉ ุจุงู„ุนุฑุด ุชู‚ูˆู„ ู…ู…ู† ูˆุตู„ู†ูŠ ูˆุตู„ู‡ ุงู„ู„ู‡ ูˆู…ู† ู‚ุทุนู†ูŠ ู‚ุทุนู‡ ุงู„ู„ู‡ 25389 ุญุฏุซู†ุง ุฃุจูˆ ุฃุณุงู…ุฉ ุนู† ุนูˆู ุนู† ุจูŠู†ู‡ุง ุจู† ุฃูˆูู‰ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุณู„ุงู… ู‚ุงู„ ู„ู…ุง ู‚ุฏู… ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุงู„ู…ุฏูŠู†ุฉ ุงู†ุฌูู„ ุงู„ู†ุงุณ ู†ุญูˆู‡ ูุงุชูŠุชู‡ ูู„ู…ุง ู†ุธุฑุช ุฅู„ูŠู‡ ุนุฑูุช ุฃู† ูˆุฌู‡ู‡ ู„ูŠุณ ูˆุฌู‡ ูƒุฐุงุจ ููƒุงู† ุฃูˆู„ ุดูŠุก ุณู…ุนุชู‡ ูŠู‚ูˆู„ ูŠุง ุฃูŠู‡ุง ุงู„ู†ุงุณ ุฃูุดูˆุง ุงู„ุณู„ุงู… ูˆุตู„ูˆุง ุงู„ุฃุฑุญุงู… ูˆุฃุทุนู…ูˆุง ุงู„ุทุนุงู… ูˆุตู„ูˆุง ุจุงู„ู„ูŠู„ ูˆุงู„ู†ุงุณ ู†ูŠุงู… 25390 ุญุฏุซู†ุง ุฌุฑูŠุฑ ุนู† ู…ู†ุตูˆุฑ ุนู† ุนุทุงุก ุจู† ุฃุจูŠ ู…ุฑูˆุงู† ุนู† ุฃุจูŠู‡ ุนู† ุนูƒุนุจ ู‚ุงู„ ูˆุงู„ุฐูŠ ูู„ู‚ ุงู„ุญุจุฉ ูˆุงู„ู†ูˆู‰ ู„ุจู†ูŠ ุฅุณุฑุงุฆูŠู„ ุฃู† ููŠ ุงู„ุชูˆุฑุงุฉ ู…ูƒุชูˆุจ ูŠุง ุงุจู† ุขุฏู… ุงุชู‚ ุฑุจูƒ ูˆุงุจุฑุฑ ูˆุงู„ุฏูŠูƒ ูˆุตู„ ุฑุญู…ูƒ ุฃู…ุฏ ู„ูƒ ููŠ ุนู…ุฑูƒ ูˆุฃูŠุณุฑ ู„ูƒ ูŠุณุฑูƒ ูˆุฃุตุฑู ุนู†ูƒ ุนุณุฑูƒ 25391 ุญุฏุซู†ุง ุฌุฑูŠุฑ ุนู† ู…ู†ุตูˆุฑ ุนู† ุฃุจูŠ ุฅุณุญุงู‚ ุนู† ู…ุบุฑุงุก ุนู† ุงุจู† ุนู…ุฑ ู‚ุงู„ ู…ู† ุงุชูู‰ ุฑุจู‡ ูˆูˆุตู„ ุฑุญู…ู‡ ู†ุณู‰ุก ู„ู‡ ููŠ ุนู…ุฑู‡ ูˆุซุฑุง ู…ุงู„ู‡ ูˆุฃุญุจู‡ ุฃู‡ู„ู‡ 25392 ุญุฏุซู†ุง ูˆูƒูŠุน ุนู† ุฃุจูŠ ุนุงุตู… ุงู„ุซู‚ููŠ ุนู† ู…ุญู…ุฏ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ู‚ุงุฑุจ ู‚ุงู„ ุณู…ุนุช ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนู…ุฑูˆ ูŠู‚ูˆู„ ุจู„ุณุงู† ู„ู‡ ุฐู„ู‚ ุฅู† ุงู„ุฑุญู… ู…ุนู„ู‚ุฉ ุจุงู„ุนุฑุด ุชู†ุงุฏูŠ ุจู„ุณุงู† ู„ู‡ุง ุฐู„ู‚ ุงู„ู„ู‡ู… ุตู„ ู…ู† ูˆุตู„ู†ูŠ ูˆุงู‚ุทุน ู…ู† ู‚ุทุนู†ูŠ 25393 ุญุฏุซู†ุง ุนูุงู† ู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ุง ุญู…ุงุฏ ุจู† ุณู„ู…ุฉ ู‚ุงู„ ุฃุฎุจุฑู†ุง ู‚ุชุงุฏุฉ ุนู† ุฃุจูŠ ุซู…ุงู…ุฉ ุงู„ุซู‚ููŠ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนู…ุฑูˆ ุฃู† ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ุชูˆุถุน ุงู„ุฑุญู… ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ูˆู„ู‡ุง ุญุฌู†ุฉ ูƒุญุฌู†ุฉ ุงู„ู…ุบุฒู„ ุชูƒู„ู… ุจู„ุณุงู† ุทู„ู‚ ุฐู„ู‚ ูุชุตู„ ู…ู† ูˆุตู„ู‡ุง ูˆุชู‚ุทุน ู…ู† ู‚ุทุนู‡ุง 25394 ุญุฏุซู†ุง ูŠุฒูŠุฏ ุจู† ู‡ุงุฑูˆู† ุนู† ุดุนุจุฉ ุนู† ู…ุญู…ุฏ ุจู† ุนุจุฏ ุงู„ุฌุจุงุฑ ุนู† ู…ุญู…ุฏ ุจู† ูƒุนุจ ุงู„ู‚ุฑุธูŠ ุนู† ุฃุจูŠ ู‡ุฑูŠุฑุฉ ุนู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ู‚ุงู„ ุงู„ุฑุญู… ุดุฌู†ุฉ ู…ู† ุงู„ุฑุญู…ู† ุชุฌูŠุก ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ุชู‚ูˆู„ ูŠุง ุฑุจ ู‚ุทุนุช ูŠุง ุฑุจ ู‚ุทุนุช ูŠุง ุฑุจ ุฃุณูŠุก ุฅู„ูŠ
ู…ุตู†ู ุงุจู† ุฃุจูŠ ุดูŠุจุฉ ุฌ: 5 ุต: 218
25395 ุญุฏุซู†ุง ุฒูŠุฏ ุจู† ุงู„ุญุจุงุจ ู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ุง ู…ูˆุณู‰ ุจู† ุนุจูŠุฏุฉ ู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ุง ุงู„ู…ู†ุฐุฑ ุจู† ุฌู‡ู… ุงู„ุฃุณู„ู…ูŠ ุนู† ู†ูˆูู„ ุจู† ู…ุณุงุญู‚ ุนู† ุฃู… ุณู„ู…ุฉ ู‚ุงู„ุช ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุงู„ุฑุญู… ุดุฌู†ุฉ ุขุฎุฐุฉ ุจุญุฌุฒุฉ ุงู„ุฑุญู…ู† ุชู†ุงุดุฏ ุญู‚ู‡ุง ููŠู‚ูˆู„ ุฃู„ุง ุชุฑุถูŠู† ุฃู† ุฃุตู„ ู…ู† ูˆุตู„ูƒ ูˆุฃู‚ุทุน ู…ู† ู‚ุทุนูƒ ู…ู† ูˆุตู„ูƒ ูู‚ุฏ ูˆุตู„ู†ูŠ ูˆู…ู† ู‚ุทุนูƒ ูู‚ุฏ ู‚ุทุนู†ูŠ 25396 ุญุฏุซู†ุง ูŠุฒูŠุฏ ุจู† ู‡ุงุฑูˆู† ู‚ุงู„ ุญุฏุซู†ุง ูุทุฑ ุนู† ู…ุฌุงู‡ุฏ ุนู† ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนู…ุฑูˆ ู‚ุงู„ ู‚ุงู„ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฅู† ุงู„ุฑุญู… ู…ุนู„ู‚ุฉ ุจุงู„ุนุฑุด ูˆู„ูŠุณ ุงู„ู…ูˆุงุตู„ ุจุงู„ู…ูƒุงูู‰ุก ูˆู„ูƒู† ุงู„ูˆุงุตู„ ุงู„ุฐูŠ ุฅุฐุง ู‚ุทุนุช ุฑุญู…ู‡ ูˆุตู„ู‡ุง 25397 ุญุฏุซู†ุง ุดุฑูŠูƒ ุนู† ุณู…ุงูƒ ุนู† ุฒูˆุฌ ุฏุฑุฉ ุนู† ุฏุฑุฉ ู‚ุงู„ุช ู‚ู„ุช ูŠุง ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ ู…ู† ุฃุชู‚ู‰ ุงู„ู†ุงุณ ู‚ุงู„ ุขู…ุฑู‡ู… ุจุงู„ู…ุนุฑูˆู ูˆุฃู†ู‡ุงู‡ู… ุนู† ุงู„ู…ู†ูƒุฑ ูˆุฃูˆุตู„ู‡ู… ู„ู„ุฑุญู…

4 komentar:

Sebuah kebudayaan yang terintegrasikan dengan islam.. sungguh kaya kultur Indonesia.. Alhamdulillah :)

Isuok buek lo hari rayo anak yatim...tu hari rayo uwang miskin...makan makan awak samo uwang miskin samo anak yatim...sudah tu disantuni anak yatim dan uwang miskin....kan elok sodo du....apo nyie awak jo buek

Kalau alasannya hari ke Delapan lah para perantau bisa ngumpul....Kenapa nggak hari Raya Lima atau Tujuh...kan bisa saja orang perantau itu berkumpul di hari kelima atau ketujuh..kenapa harus hari ke delapan? Ini kan sudah mengkhususkan hari atau menetapkan hari Hari Raya tersendiri padahal Hari Raya sudah ditetapkan
Kalau alasannya makan2...kenapa tidak makan makan beramai ramai ketika Hari Raya Ied saja
Kalau alasannay ziarah kubur...kan ziarah kubur bisa kapan saja dilakukan....sementara yang saya ketahui bahwa orang2 yang merayakan hari enam ini meyakini keutamaan berziarah kubur di hari tersebut

Posting Komentar

Silahkan tuangkan komentar sahabat disini, Terimakasih sebelum dan sesudahnya...!!!

Follower

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More