Assalamualikum Sahabat HM..! Apa kbr..? Mudah-mudahan Allah senantiasa menjaga kita ya..! Amiin...! Nah.. kali ini Hanif coba postingin artikel tentang "NIKAH".. Waduhh... Kok nikah sih..?? hahaha ( kan masih cekolah ) wkwkw..
Eitss.. tunggu dulu cob, kali ini beda.. ini Artikel tentang hukum nikah di waktu kuliah, sengaja Hanif postingin yang ini karna menurut hanif ini perlu diketahui oleh sahaba-sahabt muda kita yg masih aje pacarantu..! dari pada lama-lama pacaran mending nikah dah..! Gak takut Zinaa apa..? Ntar macuk api nelaka lho..!
Artikel ini bukan Hanif yang buat tapi murni copy paste dari web tetangga http://tabirjodoh.wordpress.com
Eitss.. tunggu dulu cob, kali ini beda.. ini Artikel tentang hukum nikah di waktu kuliah, sengaja Hanif postingin yang ini karna menurut hanif ini perlu diketahui oleh sahaba-sahabt muda kita yg masih aje pacarantu..! dari pada lama-lama pacaran mending nikah dah..! Gak takut Zinaa apa..? Ntar macuk api nelaka lho..!
Artikel ini bukan Hanif yang buat tapi murni copy paste dari web tetangga http://tabirjodoh.wordpress.com
Oke sahabat...! udah pada gak sabarankan..? langsung aje dah kita ke TKP...! MARKIBAC "Mari Kita Baca"....!
“Memilih Kuliah atau nikah ya? Atau nikah
sambil kuliah? Hmm… trs gimana donk, sementara aku belum punya
penghasilan…? Kalo pun ada, kerja masih serabutan. Selama ini keperluan
kuliah aja masih tergantung orang tua… Tapi AKU GA TAHAN PENGEN NIKAH….!
Apa yang harus aku lakukan?”
Mungkin saja diantara kita ada yang
hatinya menjerit-jerit demikian. Bingung, mau curhat juga malu.. So, aku
coba posting tulisan ini yang berkaitan dengan hukum menikah dini
(pelajar termasuk di dalamnya). Dengan mengetahui hukumnya,
mudah-mudahan kita bisa memprioritaskan apa yang terlebih dahulu kita
lakukan. Apa hukum pernikahan dini? Apakah wajib, sunah, mubah /boleh,
makruh, ataukah haram? Yuk, mari kita simak…!
Tapi sebentar… tulisan ini
lumayan panjang. Padahal udah diringkas-ringkas, tapi masih tetep banyak
nih tulisan. Ngantuk gak ya, bacanya? Hmm.. kalo gitu saya kasih tahu
kesimpulan tulisan ini lebih awal deh. Kesimpulannya adalah sebagai
berikut:
- Menikah dan juga menikah dini adalah sunnah.
- Menikah dini sunnah bagi mahasiswa yang masih dapat mengendalikan diri.
- Menikah dini wajib bagi mahasiswa yang tidak dapat lagi mengendalikan diri.
- Menikah dini dalam dua keadaan tersebut mensyaratakan adanya kesiapan ilmu, harta (nafkah), dan fisik, di samping mensyaratkan tetap adanya kemampuan melaksanakan kewajiban kuliah (menuntut ilmu).
- Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat.
Untuk lebih jelas, mari kita meluncur ke penjelasan yang lebih panjang. Monggo…
Hukum Asal Menikah
Menikah, hukum asalnya
adalah sunnah. Namun, hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum
lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang
melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian
(‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi
wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlak adalah wajib
atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan
menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syara’:
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
(Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal.
36-37).
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika
menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk
menyakiti isteri, atau pernikahan yang akan membahayakan agama
isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan:
“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Muqaddimah Ad Dustur, hal. 86).
Dalam menikah, yang terpenting adalah
kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.
Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga)
hal :
- kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju’
- kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).
- kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten.
Hukum Yang Berkaitan dengan Menikah Dini
Menikah dini hakikatnya adalah menikah
juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar,
seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Oleh karena itu,
secara umum hukumnya sama dengan hokum menikah pada umumnya.
Hukum-hukum khusus untuk pernikahan dini
dalam konteks pernikahan yang terjadi saat mahasiswa masih kuliah,
adalah sebagai berikut:
a. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Masih Dapat Menjaga Dirinya.
Mahasiswa yang masih kuliah, berarti
mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan
menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama
dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai
terperosok kepada yang haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam
keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum),
yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya,
kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.
Jika tetap ingin menikah, maka hukumnya
tetap sunnah, tidak wajib, namun dia dituntut untuk dapat menjalankan
dua hukum tersebut (menuntut ilmu dan menikah) dalam waktu bersamaan
secara baik, tidak mengabaikan salah satunya, disertai dengan keharusan
memenuhi kesiapan menikah seperti diuraikan di atas, yakni kesiapan
ilmu, harta, dan fisik.
b. Hukum Menikah Bagi Mahasiswa, Sedang Dia Tidak Dapat Menjaga Dirinya
Sebagian mahasiswa mungkin tidak dapat
menjaga dirinya, yaitu jika tidak segera menikah maka dia akan
terjerumus kepada perbuatan maksiat, seperti zina. Maka jika benar-benar
dia tidak dapat menghindarkan kemungkinan berbuat dosa kecuali dengan
jalan menikah, maka hukum asal menikah yang sunnah telah menjadi wajib
baginya, sesuai kaidah syariat:
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.”
Hukum menikah yang telah menjadi wajib
ini akan bertemu dengan kewajiban lainnya, yaitu menuntut ilmu, sebab
kedua kewajiban ini harus dilakukan pada waktu yang sama. Jadi ini
memang cukup berat dan sulit. Tapi apa boleh buat, kalau menikah wajib
dilaksanakan mahasiswa pada saat kuliah, maka Syariat Islam pun tidak
mencegahnya. Hanya saja, hal ini memerlukan keteguhan jiwa (tawakkal),
manajemen waktu yang canggih, dan sekaligus mewajibkan mahasiswa
tersebut memenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
Pertama, kewajiban
menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu
itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah), menuntut ilmu juga
merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan. Syariat Islam
telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan
sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan
ciri seorang munafik. Allah SWT berfirman:
“Dan (orang-orang beriman) adalah
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya.” (TQS Al Mu`minun : 8).
Kedua, kewajiban yang
berkaitan dengan kesiapan pernikahan harus diwujudkan, khususnya
kesiapan memberikah nafkah. Jika mahasiswa sudah bekerja sehingga mampu
memberi nafkah kepada isterinya kelak secara patut dan layak, maka
menikah saat kuliah tidak menjadi masalah. Namun perlu diingat, bekerja
memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga yang tidak sedikit. Perhatikan
betul manajemen waktu agar kuliah tidak ngelantur dan terbengkalai.
Adapun jika mahasiswa sudah bekerja namun gajinya tidak mencukupi, atau
tidak bekerja sama sekali karena tidak memungkinkan karena kesibukan
kuliah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada ayah mahasiswa. Sebab
mahasiswa tersebut berada dalam keadaan tidak mampu secara hukum (‘ajiz
hukman), maka dia wajib mendapat nafkah dari orang yang wajib
menafkahinya, yaitu ayahnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al
Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 165). Syara’ telah mewajibkan seorang ayah
menafkahi anaknya sesuai firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
‘A`isyah meriwayatkan bahwa Hindun pernah
berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya)
adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan
anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW
bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.”
(Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla,
hal. 166)
Sebenarnya nafkah ayah kepada anak
(walad) hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari
nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara nyata/fisik
(‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz
hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka
sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah. Jika ayah tidak mampu,
maka kewajiban nafkah ini berpindah kepada kerabat-kerabat (al ‘aqarib)
atau ahli waris (al warits) si lelaki (mahasiswa) sesuai firman-Nya :
“Dan warispun berkewajiban demikian (yaitu memberikan nafkah).” (TQS Al Baqarah : 233)
Ayat di atas merupakan kelanjutan (‘athaf) dari ayat :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara ma’ruf (layak).” (TQS Al Baqarah : 233)
Karenanya, jika ayah tidak mampu juga
memberikan nafkah, maka kewajiban ini berpindah kepada kerabat atau ahli
waris mahasiswa. Jika kerabat juga miskin atau tidak mampu, sebenarnya
Syariat Islam tetap memberikan jalan keluar, yaitu nafkahnya menjadi
tanggung jawab negara (Daulah Khilafah Islamiyah) sebab negara dalam
Islam berkewajiban menanggung nafkah orang-orang miskin yang menjadi
rakyatnya (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al
Mutsla, hal. 172).
Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah secara
preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa
dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan
berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum
tersebut:
- Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar
menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman
Allah SWT :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya.” (TQS An-Nur:30-31) - Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar
menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati
agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah, serta
menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan
kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya
mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR. Bukhari) - Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh
keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu
mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman :
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya.” (TQS. An Nur : 33) - Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan
khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang
laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan
kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua
orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi
yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.” - Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana firman Allah :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj).” (TQS. An-Nur : 60). - slam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian
sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka
dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya.” (TQS An Nuur: 31)
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.” (TQS Al Ahzab: 59).
- Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari
suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali
apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.” - Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya.
- Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
3 komentar:
Folback ya
http://tulisanannisaamaliyah.blogspot.com/
oke ukhti....! makasih udah mampir...
good post
Posting Komentar
Silahkan tuangkan komentar sahabat disini, Terimakasih sebelum dan sesudahnya...!!!